Kebudayaan lokal adalah suatu kebiasaan dan adat istiadat daerah
tertentu yang lahir secara alamiah, berkembang, dan sudah menjadi
kebiasaan yang sukar diubah. Indonesia adalah bangsa majemuk yang memiliki beragam budaya. Indonesia memiliki letak sangat strategis dan tanah yang subur dengan kekayaan alam melimpah ruah. Pengalaman masa lampau menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang sibuk dan menjadi salah satu urat nadi perekonomian yang ada di Asia Tenggara dan dunia yang menyebabkan banyak penduduk dari negara lain datang ke Indonesia. Menurut Anthony Reid, negara Indonesia merupakan negeri di bawah angin karena penting nya posisi Indonesia di mata dunia. Keadaan geografis yang strategis ini menyebabkan semua arus budaya asing bebas masuk ke Indonesia. Hampir semua budaya setiap etnis mulai Asia sampai Eropa ada di Indonesia. Budaya yang masuk itu memperkaya dan memengaruhi perkembangan kebudayaan lokal yang ada secara turun temurun.
Konsep Budaya Lokal
Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.
Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.
Menurut Hildred Geertz dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, di Indonesia saat ini terdapat lebih 300 dari suku bangsa yang berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda dan memiliki karakteristik budaya lokal yang berbeda pula. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan iklim yang berbeda-beda. Misalnya, wilayah pesisir pantai Jawa yang beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju. Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap kemajemukan budaya lokal di Indonesia. Pada saat nenek moyang bangsa Indonesia datang secara bergelombang dari daerah Cina Selatan sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, keadaan geografis Indonesia yang luas tersebut telah memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk menetap di daerah yang terpisah satu sama lain. Isolasi geografis tersebut mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang hidup terisolasi dari suku bangsa lainnya. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang disatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu kelompok masyarakat tersendiri. Selanjutnya, kelompok suku bangsa tersebut mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama dengan didukung oleh suatu kepercayaan yang berbentuk mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.
Kemajemukan budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Timor, Bali, Sasak, Papua, dan Maluku memiliki adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Keadaan geografis yang terisolir menyebabkan penduduk setiap pulau mengembangkan pola hidup dan adat istiadat yang berbeda-beda. Misalnya, perbedaan bahasa dan adat istiadat antara suku bangsa Gayo-Alas di daerah pegunungan Gayo-Alas dengan penduduk suku bangsa Aceh yang tinggal di pesisir pantai Aceh.
Ciri Budaya Lokal
Ciri-ciri budaya lokal dapat dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama di antara anggota masyarakat yang mengoordinasikan tindakan sosial bersama antara anggota masyarakat. Lembaga sosial memiliki orientasi perilaku sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan orientasi untuk memenuhi kebutuhan anggota lembaga sosial tersebut. Dalam lembaga sosial, hubungan sosial di antara anggotanya sangat bersifat pribadi dan didasari oleh loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki. Bentuk kelembagaan sosial tersebut dapat dijumpai dalam sistem gotong royong di Jawa dan di dalam sistem banjar atau ikatan adat di Bali. Gotong royong merupakan ikatan hubungan tolong-menolong di antara masyarakat desa. Di daerah pedesaan pola hubungan gotong royong dapat terwujud dalam banyak aspek kehidupan. Kerja bakti, bersih desa, dan panen bersama merupakan beberapa contoh dari aktivitas gotong royong yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di daerah pedesaan. Di dalam masyarakat Jawa, kebiasaan gotong royong terbagi dalam berbagai macam bentuk. Bentuk itu di antaranya berkaitan dengan upacara siklus hidup manusia, seperti perkawinan, kematian, dan panen yang dikemas dalam bentuk selamatan.
Ciri-ciri budaya lokal dapat dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama di antara anggota masyarakat yang mengoordinasikan tindakan sosial bersama antara anggota masyarakat. Lembaga sosial memiliki orientasi perilaku sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan orientasi untuk memenuhi kebutuhan anggota lembaga sosial tersebut. Dalam lembaga sosial, hubungan sosial di antara anggotanya sangat bersifat pribadi dan didasari oleh loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki. Bentuk kelembagaan sosial tersebut dapat dijumpai dalam sistem gotong royong di Jawa dan di dalam sistem banjar atau ikatan adat di Bali. Gotong royong merupakan ikatan hubungan tolong-menolong di antara masyarakat desa. Di daerah pedesaan pola hubungan gotong royong dapat terwujud dalam banyak aspek kehidupan. Kerja bakti, bersih desa, dan panen bersama merupakan beberapa contoh dari aktivitas gotong royong yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di daerah pedesaan. Di dalam masyarakat Jawa, kebiasaan gotong royong terbagi dalam berbagai macam bentuk. Bentuk itu di antaranya berkaitan dengan upacara siklus hidup manusia, seperti perkawinan, kematian, dan panen yang dikemas dalam bentuk selamatan.
Contoh-contoh Budaya Lokal
Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal, yaitu :
1. Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana
Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal, yaitu :
1. Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana
Tipe masyarakat yang dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman padi tidak dibiasakan, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh zending atau missie. Contoh budaya lokal berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana ini terdapat pada kebudayaan Mentawai dan penduduk Pantai Utara Papua.
2. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok.
2. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok.
Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang dan yang merasa bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu, mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial beserta zending dan missie, atau oleh pemerintah Republik Indonesia yang merdeka, gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Contoh budaya lokal berdasarkan tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam terdapat pada kebudayaan Nias, Batak, penduduk Kalimantan Tengah, Minahasa, Flores dan Ambon.
3. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya.
3. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya.
Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang menjadikan arah orientasinya mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang di bawa oleh sistem pemerintahan kolonial. Pada tipe masyarakat ini, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami, gelombang pengaruh agama Islam dialami sejak setengah abad terakhir ini. Contoh budaya lokal berdasar-kan tipe masyarakat bercocok tanam dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks terdapat pada kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali.
4. Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah.
4. Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah.
Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsiprovinsi di Indonesia.
5. Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat metropolitan terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.
5. Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat metropolitan terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.
Kebudayaan Lokal Indonesia
Indonesia terletak di wilayah yang menghampar dari ujung utara Pulau Weh sampai ke bagian timur di Merauke. Selain itu, Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan keragaman budaya yang dimilikinya. Konsep mengenai budaya lokal telah mengalami perkembangan. Pengertian lama budaya lokal sangat berkaitan dengan wilayah. Hal ini dapat dilihat dari 19 wilayah kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningat.
1. Aceh
2. a. Gayo, Alas, dan Batak
b. Nias dan Batu
3. a. Minangkabau
b. Mentawai
4. a. Sumatra Selatan
b. Enggano
5. Melayu
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. a. Minahasa
b. Sangir Talaud
10. Toraja
11. Sulawesi Selatan
12. Ternate
13. a. Ambon
b. Kepulauan Barat Daya
14. Irian
15. Timor
16. Bali dan Lombok
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur
18. Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat
Indonesia terletak di wilayah yang menghampar dari ujung utara Pulau Weh sampai ke bagian timur di Merauke. Selain itu, Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan keragaman budaya yang dimilikinya. Konsep mengenai budaya lokal telah mengalami perkembangan. Pengertian lama budaya lokal sangat berkaitan dengan wilayah. Hal ini dapat dilihat dari 19 wilayah kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningat.
1. Aceh
2. a. Gayo, Alas, dan Batak
b. Nias dan Batu
3. a. Minangkabau
b. Mentawai
4. a. Sumatra Selatan
b. Enggano
5. Melayu
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. a. Minahasa
b. Sangir Talaud
10. Toraja
11. Sulawesi Selatan
12. Ternate
13. a. Ambon
b. Kepulauan Barat Daya
14. Irian
15. Timor
16. Bali dan Lombok
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur
18. Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat
Kebudayaan lokal dalam pengertian tersebut terkait langsung dengan daerah. Seiring perkembangan zaman dan sistem sosial budaya, dewasa ini budaya lokal dimaknai sebagai pengetahuan bersama yang dimiliki sejumlah orang. Dengan demikian, budaya lokal dapat digunakan untuk merujuk budaya pedagang kaki lima, budaya pengemis, bahkan budaya sekolah. Batasan-batasan budaya menurut wilayah menjadi kabur dan tidak memadai lagi. Budaya lokal meliputi berbagai kebiasaan dan nilai bersama yang dianut masyarakat tertentu. Pengertian budaya lokal sering di hubungkan dengan kebudayaan suku bangsa. Konsep suku bangsa sendiri sering dipersamakan dengan konsep kelompok etnik. Menurut Fredrik Barth sebagaimana dikutip oleh Parsudi Suparlan, suku bangsa hendaknya dilihat sebagai golongan yang khusus. Kekhususan suku bangsa diperoleh secara turun temurun dan melalui interaksi antarbudaya. Budaya lokal atau dalam hal ini budaya suku bangsa menjadi identitas pribadi ataupun kelompok masyarakat pendukungnya. Ciri-ciri yang telah menjadi identitas itu melekat seumur hidup seiring kehidupannya. Dengan demikian, pengertian budaya lokal tidak dapat dibedakan secara tegas. Mattulada sebagaimana dikutip Zulyani Hidayah, mengemukakan lima ciri pengelompokan suku bangsa dalam pengertian yang dapat disamakan dengan budaya lokal.
Pertama, adanya komunikasi melalui bahasa dan dialek di antara mereka. Kedua, pola-pola sosial kebudayaan yang menumbuhkan perilaku dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat yang dihormati bersama. Ketiga, adanya perasaan keterikatan antara satu dan yang lainnya sebagai suatu kelompok dan yang menimbulkan rasa kebersamaan di antara mereka. Keempat, adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli, terutama ketika menghadapi kelompok lain pada berbagai kejadian sosial kebudayaan. Kelima, adanya perasaan keterikatan dalam kelompok
karena hubungan kekerabatan, genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka.
karena hubungan kekerabatan, genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka.
Beberapa budaya lokal dapat langsung dikenali dari bahasa yang digunakan di antara mereka. Bahasa merupakan simbol identitas, jati diri, dan pengikat di antara suku bangsa. Ironisnya, terdapat kondisi yang memprihatinkan disebabkan semakin banyak bahasa yang punah atau hampir punah di dunia, khususnya di Indonesia. Salah satu contohnya adalah berita tentang bahasa Kaili yang sudah di ambang kepunahan. Bahasa Kaili adalah bahasa ibu masyarakat etnik Kaili. Suku bangsa Kaili merupakan kelompok terbesar atau mayoritas masyarakat Sulawesi Tengah (Sulteng). Bahasa Kaili terancam punah disebabkan pergeseran budaya yang terjadi dalam masyarakat Sulteng sendiri. Kalangan muda Kaili mulai meninggalkan bahasa ibunya sendiri dalam kehidupan seharihari. Nasib bahasa semakin tersudut karena ketiadaan standardisasi (pembakuan) ketatabahasaan Kaili. Gejala yang sama juga terjadi di Tanah Sunda. Penutur bahasa Sunda terus berkurang. Pemerintah daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar telah mengeluar kan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda. Ternyata, Perda tersebut tidak berlaku sebagaimana mestinya. Penduduk Jabar memang bukan hanya etnik Sunda, melainkan juga etnik Cirebon dan beberapa etnik lainnya. Menurut penelitian, sikap masyarakat Sunda terhadap bahasa Sunda menunjukkan bahwa hanya sekira 35,4 persen keluarga Sunda yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa utama dalam komunikasi sosial sehari-hari, 47 persen berbahasa campuran Sunda-Indonesia, 64 persen berbahasa Indonesia, sebanyak 1,6 persen berbahasa campuran Sunda-Jawa-Indonesia dan 8,8 persen berbahasa campuran Sunda-Indonesia-Inggris.
Krisis penggunaan bahasa ibu di tanah air secara antropologis berdampak negatif terhadap kelestarian alam. Tersingkirnya bahasa-bahasa lokal (daerah) di Indonesia merupakan salah satu penyebab seringnya terjadi bencana alam (banjir, longsor, atau kerusakan hutan). Kepunahan berbagai bahasa daerah di tanah air, baik disengaja maupun tidak disengaja, telah menghilangkan kearifan lokal di berbagai bidang. Banyak sekali idiom dalam bahasa lokal yang berhubungan erat dengan pengetahuan sosial, ekologi, teknologi, pengobatan, bahkan kelestarian lingkungan. Berbagai bencana alam yang semakin sering melanda Indonesia, terkait erat dengan pemahaman bahasa lokal yang berhubungan dengan pengetahuan sosial dan ekologi. Kerusakan lingkungan alam juga disebabkan penyimpangan masyarakat dari pedoman kearifan tradisi yang ditunjukkan dengan berbagai ungkapan nenek moyang dalam bentuk klasifikasi bahasa. Proses mulai hilangnya bahasa-bahasa daerah di tanah air, juga diakibatkan semakin berkurangnya penutur asli bahasa lokal, haruslah dipandang sebagai suatu bencana sosial yang bersifat global.
Budaya masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman (pedesaan) yang tinggal di daerah pantai berbeda. Budaya lokal masyarakat pedalaman (pedesaan) terlihat tenang dengan karakteristik masyarakatnya yang cenderung tertutup. Adapun budaya lokal masyarakat yang tinggal di daerah pantai terlihat keras dan karakteristik masyarakatnya relatif lebih terbuka. Kekayaan budaya lokal di Nusantara dijadikan laboratorium hidup antropologi oleh para antropolog. Budaya lokal yang bersifat tradisional yang masih dipertahankan. Tidak semua nilai tradisional buruk dan harus dihindari. Justru nilai tradisional itu harus digali dan digunakan untuk mendukung dan membangun agar tidak bertentangan dengan nilai modern.
Tidak selamanya budaya lokal mengandung kerukunan. Jika dicermati secara mendalam, ada hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan, benturan pemahaman, dan makna. Misalnya, ada seorang dari suku tertentu datang berkunjung kepada temannya yang Suku Jawa. Ketika ditawari makan, di depan meja itu banyak sayur (dalam bahasa Jawa jangan), ia menawari temannya dengan kata jangan. Temannya yang tidak mengerti bahasa Jawa akan bingung. Ia ditawari makan, tetapi setiap mau mengambil sayur dibilang jangan. Dewasa ini, budaya lokal semakin berkembang. Apalagi sejak berkembangnya teknologi informasi yang canggih. Banyak budaya lokal yang diangkat dalam program acara di televisi. Sinetron dan film yang beredar mulai menggunakan sisipan bahasa daerah dan adanya kosakata dalam bahasa daerah itu menjadi kosakata nasional. Contohnya, kata jomblo yang berasal dari bahasa Sunda yang artinya perempuan yang belum memiliki pasangan. Kata jomblo masuk menjadi kata umum yang berarti seseorang yang belum memiliki pasangan. Semakin dikenalkannya budaya lokal oleh berbagai media maka akan semakin berkembang budaya daerah tersebut. Hal ini bisa dilihat pada setiap ada acara yang melibatkan pejabat atau kunjungan tamu selalu disambut dengan tradisi setempat.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak keluar dari akar budayanya. Melestarikan budaya daerah bukan berarti ke tinggalan zaman atau kuno, melainkan justru orang modern adalah orang yang bisa mengembangkan budaya daerah. Contoh negara Jepang. Walaupun mereka sudah maju, mereka tidak melupakan budaya tradisionalnya, seperti tradisi minum teh atau penggunaan Kimono. Orang Cina masih bangga menggunakan bahasanya.
0 Response to "Pengertian Konsep, Ciri-Ciri, dan Contoh Budaya Lokal (Kebudayaan Lokal Indonesia)"
Posting Komentar