Proses perubahan sosial akan senantiasa berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia. Namun begitu, berlangsung cepat (lancar) atau tidaknya suatu perubahan sosial akan sangat tergantung dari sedikit banyak (ada tidaknya) faktor-faktor yang diduga dapat mendorong atau menghambatnya. Apabila di dalam suatu masyarakat terdapat banyak faktor pendorongnya maka perubahan sosial akan cepat berlangsung, atau apabila telah berlangsung maka akan semakin cepat atau lancar pula proses berlangsungnya (perubahannya). Namun sebaliknya, jika di dalam suatu masyarakat banyak sekali faktor-faktor yang menghambatnya, maka akan semakin sulit atau terhambat pula proses-proses perubahan sosial yang akan terjadi. Lalu faktor-faktor apa sajakah kira-kira yang dapat dianggap sebagai faktor pendorong maupun penghambatnya ? Pada uraian berikut ini akan dijelaskan tentang berbagai faktor yang diduga dapat memengaruhi berlangsungnya proses perubahan sosial, baik yang bersifat mendorong ataupun menghambatnya.
A. Faktor Pendorong Perubahan sosial
Proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat
berlangsung secara cepat atau lancar, dan dapat pula berlangsung secara
tidak cepat atau tidak lancar, misalnya saja dengan cara yang lambat
atau tersendat-sendat. Adapun secara umum, faktor-faktor yang
diperkirakan dapat mendorong (memperlancar/mempercepat) bagi jalannya
proses perubahan sosial itu antara lain:
- Sikap menghargai hasil karya orang lain dan kehendak untuk maju.
- Deviasi, yaitu toleransi terhadap perbuatan menyimpang asal bukan merupakan dalih/pelanggaran.
- Kontak dengan kebudayaan lain.
- Sistem pendidikan formal yang maju.
- Sistem terbuka dalam lapisan masyarakat.
- Penduduk yang heterogen.
- Rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
- Orientasi ke masa depan.
- Sikap optimis dalam hidup.
Untuk lebih jelasnya, kita uraikan lagi faktor pendorong perubahan sosial diatas:
1. Adanya kontak dengan kebudayaan masyarakat lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah misalnya diffusion. Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari seseorang kepada orang lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat misalnya, dapat diteruskan dan disebarluaskan pada masyarakat lain, sampai masyarakat tersebut dapat menikmati kegunaan dari hasil-hasil peradaban bagi kemajuan manusia. Maka proses semacam itu merupakan pendorong bagi pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan umat manusia.
Difusi antar masyarakat dipengaruhi oleh:
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah misalnya diffusion. Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari seseorang kepada orang lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat misalnya, dapat diteruskan dan disebarluaskan pada masyarakat lain, sampai masyarakat tersebut dapat menikmati kegunaan dari hasil-hasil peradaban bagi kemajuan manusia. Maka proses semacam itu merupakan pendorong bagi pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan umat manusia.
Difusi antar masyarakat dipengaruhi oleh:
- Adanya kontak antara antara masyarakat-masyarakat tersebut
- Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang menyaingi unsurunsur penemuan.
- Kemampuan untuk mendemonstrasikan manfaat-manfaat penemuan baru.
- Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan baru.
- Paksaan untuk menerima penemuan baru.
- Pengakuan akan kegunaan penemuan baru.
Difusi memperkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan, yang memerlukan perubahan-perubahan sosial dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan.
2. Adanya sikap terbuka terhadap karya serta keinginan orang lain untuk maju
Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan. Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuanpenemuan baru. Pemberian hadiah nobel dan yang sejenisnya misalnya, merupakan pendorong bagi individu-individu maupun kelompok-kelompok lainnya untuk menciptakan karya-karya yang baru lagi.
3. Adanya Sistem pendidikan formal yang maju
Sistem pendidikan yang baik yang didukung oleh kurikulum adaptif maupun fleksibel misalnya, akan mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya. Pendidikan formal, misalnya di sekolah, mengajarkan kepada anak didik berbagai macam pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh para siswa. Di samping itu, pendidikan juga memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Namun jika dikelola secara baik dan maju, pendidikan bukan hanya sekedar dapat mengajarkan pengetahuan, kemampuan ilmiah, skill, serta nilai-nilai tertentu yang dibutuhkan siswa, namun lebih dari itu juga mendidik anak agar dapat berpikir secara obyektif. Dengan kemampuan penalaran seperti itu, pendidikan formal akan dapat membekali siswa kemampuan menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jamannya atau tidak. Nah, di sinilah kira-kira peranan atau faktor pendorong bagi pendidikan formal yang maju untuk berlangsungnya perubahanperubahan dalam masyarakat.
2. Adanya sikap terbuka terhadap karya serta keinginan orang lain untuk maju
Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan. Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuanpenemuan baru. Pemberian hadiah nobel dan yang sejenisnya misalnya, merupakan pendorong bagi individu-individu maupun kelompok-kelompok lainnya untuk menciptakan karya-karya yang baru lagi.
3. Adanya Sistem pendidikan formal yang maju
Sistem pendidikan yang baik yang didukung oleh kurikulum adaptif maupun fleksibel misalnya, akan mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya. Pendidikan formal, misalnya di sekolah, mengajarkan kepada anak didik berbagai macam pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh para siswa. Di samping itu, pendidikan juga memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Namun jika dikelola secara baik dan maju, pendidikan bukan hanya sekedar dapat mengajarkan pengetahuan, kemampuan ilmiah, skill, serta nilai-nilai tertentu yang dibutuhkan siswa, namun lebih dari itu juga mendidik anak agar dapat berpikir secara obyektif. Dengan kemampuan penalaran seperti itu, pendidikan formal akan dapat membekali siswa kemampuan menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jamannya atau tidak. Nah, di sinilah kira-kira peranan atau faktor pendorong bagi pendidikan formal yang maju untuk berlangsungnya perubahanperubahan dalam masyarakat.
4. Sikap berorientasi ke masa depan
Adanya prinsip bahwa setiap manusia harus berorientasi ke masa depan, menjadikan manusia tersebut selalu berjiwa (bersikap) optimistis. Perasaan dan sikap optimistis, adalah sikap dan perasaan yang selalu percaya akan diperolehnya hasil yang lebih baik, atau mengharapkan adanya hari esok yang lebih baik dari hari sekarang. Sementara jika di kalangan masyarakat telah tertanam jiwa dan sikap optimistis semacam itu maka akan menjadikan masyarakat tersebut selalu bersikap ingin maju, berhasil, lebih baik, dan lain-lain. Adanya jiwa dan sikap optimistik, serta keinginan yang kuat untuk maju itupula sehingga proses-proses perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat itu dapat tetap berlangsung.
5. Sistem lapisan masyarakat yang bersifat terbuka (open stratification)
Sistem stratifikasi sosial yang terbuka memungkinkan adanya gerak vertikal yang luas yang berarti memberi kesempatan bagi individu-individu untuk maju berdasar kemampuannya. Dalam keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status yang lebih tinggi. Dengan demikian, seseorang merasa dirinya berkedudukan sama dengan orang atau golongan lain yang dianggapnya lebih tinggi dengan harapan agar mereka diperlakukan sama dengan golongan tersebut. Identifikasi terjadi di dalam hubungan superordinat-subordinat. Pada golongan yang lebih rendah kedudukannya, sering terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial yang dimilikinya. Keadaan tersebut dalam sosiologi dinamakan “status-anxiety”. “Status-anxiety” tersebut menyebabkan seseorang berusaha untuk menaikkan kedudukan sosialnya.
6. Adanya komposisi penduduk yang heterogen
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti kebudayaan, ras (etnik), bahasa, ideologi, status sosial, dan lain-lain, atau yang lebih populer dinamakan “masyarakat heterogen”, lebih mempermudah bagi terjadinya pertentangan-pertentangan ataupun kegoncangan-kegoncangan. Hal semacam ini juga merupakan salah satu pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat.
7. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
Nasib manusia memang sudah ditentukan oleh Tuhan, namun adalah menjadi tugas dan kewajiban manusia untuk senantiasa berikhtiar dan berusaha guna memperbaiki taraf kehidupannya. Lagipula, menurut ajaran agama juga ditekankan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu umat (termasuk individu) selama umat (individu) tersebut tidak berusaha untuk mengubahnya. Dengan demikian tugas manusia adalah berusaha, lalu berdoa, sedangkan hasil akhir adalah Tuhan yang menentukannya. Adanya nilai-nilai hidup serta keyakinan yang semacam itu menyebabkan kehidupan manusia menjadi dinamik, dan adanya dinamisasi kehidupan inilah sehingga perubahan-perubahan sosial budaya dapat berlangsung.
8. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu
Munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidangbidang kehidupan tertentu, misalnya adanya pelaksanaan pembangunan yang hanya menguntungkan golongan tertentu, pembagian hasil pembangunan yang tidak merata, semakin melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, dan lain-lain, dapat menyebabkan terjadinya kekecewaan dalam masyarakat. Bahkan jika dibiarkan sampai berlarut-larut, hal semacam itu dapat mengakibatkan terjadinya demo ataupun protes-protes yang semakin meluas, atau bahkan kerusuhan-kerusuhan, dan revolusi. Dengan demikian adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu dapat mendorong bagi bergulirnya perubahanperubahan sosial budaya.
Adanya prinsip bahwa setiap manusia harus berorientasi ke masa depan, menjadikan manusia tersebut selalu berjiwa (bersikap) optimistis. Perasaan dan sikap optimistis, adalah sikap dan perasaan yang selalu percaya akan diperolehnya hasil yang lebih baik, atau mengharapkan adanya hari esok yang lebih baik dari hari sekarang. Sementara jika di kalangan masyarakat telah tertanam jiwa dan sikap optimistis semacam itu maka akan menjadikan masyarakat tersebut selalu bersikap ingin maju, berhasil, lebih baik, dan lain-lain. Adanya jiwa dan sikap optimistik, serta keinginan yang kuat untuk maju itupula sehingga proses-proses perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat itu dapat tetap berlangsung.
5. Sistem lapisan masyarakat yang bersifat terbuka (open stratification)
Sistem stratifikasi sosial yang terbuka memungkinkan adanya gerak vertikal yang luas yang berarti memberi kesempatan bagi individu-individu untuk maju berdasar kemampuannya. Dalam keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status yang lebih tinggi. Dengan demikian, seseorang merasa dirinya berkedudukan sama dengan orang atau golongan lain yang dianggapnya lebih tinggi dengan harapan agar mereka diperlakukan sama dengan golongan tersebut. Identifikasi terjadi di dalam hubungan superordinat-subordinat. Pada golongan yang lebih rendah kedudukannya, sering terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial yang dimilikinya. Keadaan tersebut dalam sosiologi dinamakan “status-anxiety”. “Status-anxiety” tersebut menyebabkan seseorang berusaha untuk menaikkan kedudukan sosialnya.
6. Adanya komposisi penduduk yang heterogen
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti kebudayaan, ras (etnik), bahasa, ideologi, status sosial, dan lain-lain, atau yang lebih populer dinamakan “masyarakat heterogen”, lebih mempermudah bagi terjadinya pertentangan-pertentangan ataupun kegoncangan-kegoncangan. Hal semacam ini juga merupakan salah satu pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat.
7. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
Nasib manusia memang sudah ditentukan oleh Tuhan, namun adalah menjadi tugas dan kewajiban manusia untuk senantiasa berikhtiar dan berusaha guna memperbaiki taraf kehidupannya. Lagipula, menurut ajaran agama juga ditekankan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu umat (termasuk individu) selama umat (individu) tersebut tidak berusaha untuk mengubahnya. Dengan demikian tugas manusia adalah berusaha, lalu berdoa, sedangkan hasil akhir adalah Tuhan yang menentukannya. Adanya nilai-nilai hidup serta keyakinan yang semacam itu menyebabkan kehidupan manusia menjadi dinamik, dan adanya dinamisasi kehidupan inilah sehingga perubahan-perubahan sosial budaya dapat berlangsung.
8. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu
Munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidangbidang kehidupan tertentu, misalnya adanya pelaksanaan pembangunan yang hanya menguntungkan golongan tertentu, pembagian hasil pembangunan yang tidak merata, semakin melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, dan lain-lain, dapat menyebabkan terjadinya kekecewaan dalam masyarakat. Bahkan jika dibiarkan sampai berlarut-larut, hal semacam itu dapat mengakibatkan terjadinya demo ataupun protes-protes yang semakin meluas, atau bahkan kerusuhan-kerusuhan, dan revolusi. Dengan demikian adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu dapat mendorong bagi bergulirnya perubahanperubahan sosial budaya.
9. Toleransi
Masyarakat tidak kaku dalam menghadapi norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri, terutama norma yang tidak tertulis. Apabila terjadi suatu perilaku yang berbeda dalam suatu masyarakat, namun tidak keluar dari persoalan yang dapat mengarah pada aspekaspek negatif, seperti konflik sosial. Sikap tidak mempersoalkan perilaku tersebut merupakan bagian dari sikap toleransi terhadap orang lain. Contohnya, di perkotaan secara umum dihuni oleh warga yang sangat heterogen. Salah satu heterogenitasnya adalah dalam bahasa. Terkadang bahasa yang digunakan antara anggota masyarakat memiliki nilai yang berbeda. Satu pihak menilainya sebagai bahasa halus dan sopan, namun pihak lain menilai sebaliknya. Di sinilah sangat dibutuhkan sikap toleransi.
10. Sistem Stratifikasi Sosial Terbuka
Masyarakat yang memiliki stratifikasi (lapisan) sosial terbuka memungkinkan terjadinya mobilitas (perpindahan) sosial antarlapisan. Seseorang yang berada pada lapisan yang paling bawah dapat berpindah ke lapisan yang lebih atas apabila yang bersang kutan berusaha dan bekerja keras untuk mencapainya.
Selain sejumlah faktor-faktor di atas, terjadinya perubahan sosial dapat pula didorong atau dipercepat karena adanya faktor-faktor intern (dari mayarakat yang mengalami perubahan) seperti:
Masyarakat tidak kaku dalam menghadapi norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri, terutama norma yang tidak tertulis. Apabila terjadi suatu perilaku yang berbeda dalam suatu masyarakat, namun tidak keluar dari persoalan yang dapat mengarah pada aspekaspek negatif, seperti konflik sosial. Sikap tidak mempersoalkan perilaku tersebut merupakan bagian dari sikap toleransi terhadap orang lain. Contohnya, di perkotaan secara umum dihuni oleh warga yang sangat heterogen. Salah satu heterogenitasnya adalah dalam bahasa. Terkadang bahasa yang digunakan antara anggota masyarakat memiliki nilai yang berbeda. Satu pihak menilainya sebagai bahasa halus dan sopan, namun pihak lain menilai sebaliknya. Di sinilah sangat dibutuhkan sikap toleransi.
10. Sistem Stratifikasi Sosial Terbuka
Masyarakat yang memiliki stratifikasi (lapisan) sosial terbuka memungkinkan terjadinya mobilitas (perpindahan) sosial antarlapisan. Seseorang yang berada pada lapisan yang paling bawah dapat berpindah ke lapisan yang lebih atas apabila yang bersang kutan berusaha dan bekerja keras untuk mencapainya.
Selain sejumlah faktor-faktor di atas, terjadinya perubahan sosial dapat pula didorong atau dipercepat karena adanya faktor-faktor intern (dari mayarakat yang mengalami perubahan) seperti:
- Adanya sikap masyarakat yang selalu terbuka terhadap setiap perubahan.
- Berkembangnya pola pemikiran yang positif terhadap hal-hal yang baru.
- Adanya sikap masyarakat yang selalu menyukai sesuatu yang baru.
- Adanya pengalaman yang luas dari masyarakat yang bersangkutan.
B. Faktor Penghambat Perubahan Sosial
Dalam dinamika masyarakat, selain terdapat faktor-faktor yang dapat
mendorong bagi berlangsungnya proses perubahan sosial, juga terdapat
faktor-faktor yang dapat menghalangi atau menghambatnya. Adapun
faktor-faktor yang diperkirakan dapat menghambat atau menghalangi bagi
terjadinya proses perubahan sosial tersebut antara lain:
- Rasa takut akan terjadinya kegoyahan dan mempengaruhi integrasi kebudayaan.
- Sikap tertutup dan berprasangka terhadap hal-hal baru.
- Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
- Perkembangan iptek yang terlambat.
- Sikap fatalistik masyarakat.
- Vested-interested adanya kepentingan-kepentingan individual yang tertanam kuat pada diri agen perubahan.
- Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
- Hambatan dari faktor adat atau kebiasaan.
- Sikap pesimis dalam hidup.
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial budaya adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf perkembangan budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan tingginya taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
2. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari dunia luar. Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
3. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa tidak mungkin suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
4. Adat dan kebiasaan
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat. Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi seluruh anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat, serta bersifat mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang berat baik sanksi moral maupun sosial dari masyarakat.
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial budaya adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf perkembangan budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan tingginya taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
2. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari dunia luar. Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
3. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa tidak mungkin suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
4. Adat dan kebiasaan
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat. Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi seluruh anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat, serta bersifat mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang berat baik sanksi moral maupun sosial dari masyarakat.
Sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang pantas dikerjakan maka
diterima oleh masyarakat. Karena pantas dikerjakan dan telah diterima
oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi perilaku yang diulang-ulang dari
generasi terdahulu ke generasi berikutnya (secara turun-temurun)
sehingga menjadi semacam aturan (norma) yang harus diikuti oleh setiap
anggota masyarakat. Meskipun tidak sekuat adat, norma kebiasaan juga
memiliki daya pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap anggota
berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan
demikian dapatlah dibayangkan bahwa apabila dalam masyarakat tersebut
muncul nilai (budaya) serta kebiasaan-kebiasaan baru yang akan menggeser
kebiasaan-kebiasaan lama, apalagi sampai menggeser adat kebiasaan yang
selama ini telah menjadi pedoman serta aturan yang dipegang teguh secara
turun-temurun, maka nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru tersebut akan
ditentang, atau bahkan ditolaknya. Misalnya nilai-nilai baru di
masyarakat yang mengatakan bahwa upacara hajatan dapat dilaksanakan
kapan saja, karena pada hakikatnya semua hari dan bulan itu baik
sekalipun dilaksanakan di bulan Suro (Muharram). Sedangkan di Indonesia,
khususnya di kalangan masyarakat Jawa ada semacam keyakinan yang telah
dipegang teguh karena telah menjadi adat kebiasaan secara turun-temurun,
ialah bahwa menyelenggarakan acara hajatan di bulan Suro adalah suatu
pantangan (dilarang), sebab jika dilaksanakan akan mendatangkan mara
bahaya (bencana), khususnya bagi mereka yang tetap menyelenggarakannya.
Dengan demikian, di kalangan masyarakat Jawa yang percaya serta memegang secara teguh tradisi serta adat kebiasaan semacam itu, tentu akan mengalami kesulitan untuk bisa merubah keyakinan yang telah mendarah daging itu, meskipun dari luar angin perubahan telah bertiup dengan kencangnya.
5. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interests)
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya di dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka tidak akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut. Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat.
7. Nilai bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika manusia diberikan kehidupan yang jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya (nrimo ing pandum) serta dengan penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus diterimanya demikian. Dengan demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha, apalagi sampai ngoyo, karena tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek, sebab sudah ditakdirkan jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik. Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan, atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara lambat.
8. Hambatan yang bersifat ideologis
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi jalannya perubahan-perubahan.
9. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap mengagungagungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan dalam proses perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan. Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari segi intern (dari dalam masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses perubahan sosial juga dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:
Dengan demikian, di kalangan masyarakat Jawa yang percaya serta memegang secara teguh tradisi serta adat kebiasaan semacam itu, tentu akan mengalami kesulitan untuk bisa merubah keyakinan yang telah mendarah daging itu, meskipun dari luar angin perubahan telah bertiup dengan kencangnya.
5. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interests)
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya di dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka tidak akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut. Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat.
7. Nilai bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika manusia diberikan kehidupan yang jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya (nrimo ing pandum) serta dengan penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus diterimanya demikian. Dengan demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha, apalagi sampai ngoyo, karena tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek, sebab sudah ditakdirkan jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik. Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan, atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara lambat.
8. Hambatan yang bersifat ideologis
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi jalannya perubahan-perubahan.
9. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap mengagungagungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan dalam proses perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan. Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari segi intern (dari dalam masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses perubahan sosial juga dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:
- Adanya sikap masyarakat yang ragu-ragu, bahkan curiga terhadap sesuatu yang baru yang dianggap dapat berdampak negatif.
- Adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menyukai dan mempertahankan sesuatu hal yang lama.
- Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap sesuatu yang baru.
0 Response to "Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial"
Posting Komentar