Sejarah Sebagai Kisah (Contoh dan Faktor Subjektifitas Dalam Sejarah Sebagai Kisah)

Sejarah sebagai kisah adalah cerita berupa narasi yang disusun dari memori, kesan, atau tafsiran menusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu lampau atau sejarah serba subjek. Pengertian yang lain bahwa Sejarah sebagai kisah adalah sejarah yang dapat terjadi berulang kali, karena kisah dari suatu peristiwa tersebut dapat ditulis oleh siapa saja dan kapan saja. Dengan kata lain, sejarah sebagai kisah ialah kejadian masa lalu yang diungkapkan kembali berdasarkan penafsiran dan interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan.  Dengan demikian, dalam sejarah sebagai kisah, subjektivitas akan muncul. Hal ini berbeda dengan sejarah sebagai peristiwa. Dalam sejarah sebagai peristiwa orang hanya melihat fakta sejarah, bukan mendengar atau membaca kisah sejarah. 
R. Moh. Ali dalam Ismaun menyatakan sejarah sebagai kisah ialah cerita berupa narasi yang disusun dari memori, kesan atau tafsiran manusia terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau. Sejarah sebagai kisah merupakan hasil rekonstruksi dari suatu peristiwa oleh para sejarawan. Menurut Ismaun bagi orang kebanyakan, sejarah yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah sejarah sebagai cerita.
Sejarah Sebagai Kisah (Contoh dan Faktor Subjektifitas Dalam Sejarah Sebagai Kisah)

Kisah sejarah yang disajikan dapat berupa lisan dan tulisan. Apabila kita mendengarkan seseorang menceritakan tentang peristiwa Bandung Lautan Api, maka itu termasuk katagori kisah lisan. Tetapi apabila kita ingin mengetahui peristiwa Bandung Lautan Api dengan membaca buku-buku yang bercerita tentang Bandung Lautan Api, maka itu termasuk dalam katagori bentuk kisah tulisan.Ada kebiasaan pada orang-orang tertentu mencatat dalam buku hariannya tentang peristiwa-peristiwa penting. Misalnya seorang jenderal pemimpin perang, mencatat bagaimana strategi yang dia lakukan ketika menghadapi perang dengan Belanda. Dalam catatannya ini kita dapat menemukan penuturan bagaimana semangat pasukannya, jumlah pasukannya, daerah-daerah perlawannya, kekuatan lawan, senjata yang digunakan, dan hal-hal lainnya. Kemungkinan apabila kita tanyakan kepada anak buahnya tentang perang tersebut, bisa berbeda kesannya dari apa yang dituturkan oleh catatan sang jenderal tersebut. 
    Secara tulisan, kisah sejarah ini dapat dilihat dalam bentuk tertulis seperti pada buku, majalah atau surat kabar. Secara lisan, kisah dapat diambil dari ceramah, percakapan atau pelajaran di sekolah. Sejarah merupakan suatu kisah yang diceritakan dalam berbagai bentuk, baik narasi maupun tafsiran dari suatu kejadian. Secara tulisan kisah ini akan didapat dalam bentuk tulisan di buku, majalah atau surat kabar. Secara lisan, kisah didapat dari ceramah, percakapan atau pelajaran di sekolah.
Contoh Sejarah Sebagai Kisah
    Contoh sejarah sebagai kisah adalah kisah mengenai Sultan Iskandar Muda dalam Hikayat Aceh. Dalam hikayat ini diceritakan cukup detail mengenai masa kecil Iskandar Muda hingga ia memerintah Kerajaan Aceh dengan cukup bijaksana. Di sini kita melihat sosok positif dari sultan tersebut karena yang menulis hikayat pun adalah orang dalam Aceh. Dengan demikian sejarah sebagai kisah subjektif sifatnya. Contoh lain adalah kitabkitab yang ditulis oleh para pujangga istana di Jawa seperti Negarakretagama, Pararaton, Kidung Sundayana, Carita Parahyangan, dan lain-lain.


    Subjektivitas dalam sejarah kisah akan nampak ketika ada dua orang menuturkan peristiwa sejarah yang sama. Perbedaan ini dapat muncul karena si penutur cerita tersebut memberikan penafsiran terhadap peristiwa yang ia tuturkan. Misalnya ketika kita mewancarai orang-orang yang pernah mengalami atau melihat peristiwa Bandung Lautan Api. Kemungkinan orang-orang yang mengisahkan peristiwa Bandung Lautan Api akan berbeda mengisahkannya antara satu dengan yang lainnya. Apabila yang kita wawancarai adalah seorang prajurit yang terlibat perang melawan Belanda, mungkin ia akan menceritakan peristiwa Bandung Lautan Api dalam perspektif dirinya sebagai seorang tentara yang selalu berperang saat itu. Namun apabila yang kita wawancarai misalnya seorang petani, mungkin dia tidak terlalu menceritakan peristiwa Bandung Lautan Api sebagai bagian dari strategi perjuangan bangsa Indonesia saat itu.
Akhir-akhir ini kita sering melihat banyak tokoh penting yang menulis biografinya. Buku tersebut biasanya banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa penting yang dilihat atau dialami oleh tokoh itu. Tokoh yang menulis biografi tersebut akan memberikan penilaiannya tersendiri tentang suatu peristiwa. Peristiwa tersebut bisa dinilai sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Tetapi, kalau kita baca biografi tokoh yang lainnya tentang suatu peristiwa yang sama sebagaimana yang telah ditulis oleh tokoh sebelumnya, kemungkinan akan memberikan kesan yang berbeda. Misalnya tokoh yang mendukung peristiwa reformasi 1998 di Indonesia akan menyatakan bahwa peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang positif dalam membangun demokratisasi di Indonesia. Sebaliknya bagi tokoh yang merasa dirugikan kedudukannya dengan adanya peristiwa reformasi, ada kemungkinan akan memberikan penilaian yang jelek terhadap peristiwa reformasi.
(Baca juga: Sejarah sebagai seni)

Faktor Subjektifitas dalam Sejarah Sebagai Kisah
    Sebagaimana telah dikemukan di atas, sejarah sebagai kisah akan bersifat subjektif. Interpretasi atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis sejarah akan subjektif. Subjektivitas tersebut terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor kepribadian si penulis atau penutur sejarah. Faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Kepentingan atau interes dan nilai-nilai
    Kepentingan dalam penulisan sejarah sangat ditentukan oleh tujuan dari penulisan sejarah tersebut. Dalam penulisan sejarah tersebut, berbagai kepentingan muncul, baik yang bersifat pribadi, kelompok, maupun secara formal negara. Misalnya dalam penulisan sejarah sebagai mata pelajaran di sekolah, maka sangat menonjol kepentingan negara. Pengajaran sejarah di sekolah memiliki misi untuk membangun semangat kebangsaan. Oleh karena itu, penulisan sejarah buku ajar harus mengandung nilai-nilai kebangsaan. Peristiwa-peristiwa yang ditulis diseleksi dan dipilih untuk kepentingan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Mungkin saja suatu peristiwa yang ditulis dalam buku pelajaran sejarah sekolah berbeda dengan hasil-hasil penelitian sejarah yang baru. Buku teks pelajaran sejarah tidak mencantumkan fakta sejarah berdasarkan hasil penelitian yang baru apabila fakta yang ditemukan tersebut bertentangan dengan kepentingan pengajaran sejarah di sekolah. Begitu pula halnya dalam penulisan sejarah yang diwarnai oleh kepentingan individu. Seorang tokoh akan menulis sejarah dirinya atau biografinya dengan tujuan untuk menonjolkan peran-peran yang ia lakukan. Dia melihat sejarah yang ada tidak mencantumkan dirinya.
    Berbagai latar belakang kepentingan akan muncul dalam penulisan sejarah yang memiliki kepentingan kelompok. Penulisan sejarah daerah biasanya lebih mementingkan pada aspek-aspek penting di daerah tersebut. Daerah bisa dalam bentuk kota, kabupaten, dan provinsi. Misalnya sejarah daerah Jawa Barat, penulisan sejarah seperti ini akan mementingkan hal-hal penting dari sejarah yang ada di Jawa Barat, yang etnisnya sebagian besar suku Sunda. Kepentingan agama misalnya penulisan sejarah perkembangan mesjid-mesjid di Indonesia, bagaimana perkembangan agama Islam melalui perkembangan mesjid. Sejarah profesi misalnya sejarah perkembangan profesi guru, bagaimana peran-peran penting yang dilakukan oleh guru sebagai figur yang terlibat langsung dalam pendidikan.
    Subjektivitas ditentukan pula oleh nilai-nilai yang dimiliki penulis sejarah. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, keyakinan, moral, etika, dan lain-lain. Agama yang dianut oleh seorang penulis dapat menjadi sumber nilai dalam penulisan sejarah. Misalnya seorang penulis sejarah yang memiliki kegiatan aktif dalam kegiatan dakwah sebuah organisasi Islam, dia akan menulis sejarah organisasi yang ia masuki dengan penuh penilaian yang positif terhadap organisasi tersebut. Dia akan menggambarkan sejarah organisasinya sebagai sebuah organisasi yang memiliki semangat juang yang tinggi dalam mengembangkan dakwah Islam. Dengan demikian, pendekatan nilai-nilai keagamaan terdapat dalam penulisan sejarah tersebut.
Contoh Sejarah Sebagai Kisah - Faktor Subjektifitas dalam Sejarah Sebagai Kisah - Kepentingan atau interes dan nilai-nilai
    Kisah perjuangan yang ditulis oleh seorang purnawirawan tentang perlawanan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda, akan diwarnai dengan nilainilai nasionalisme yang tinggi. Cerita tentang bagaimana heroismenya para pejuang dalam menghadapi penjajahan. Para pejuang digambarkan sebagai orang-orang yang berperang dalam rangka membela kebenaran. Belanda atau penjajah digambarkan sebagai pihak yang tidak terpuji karena menjajah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, sedangkan para pejuang berada pada pihak yang benar. Seorang pejuang yang terlibat langsung dalam perang melawan Belanda akan menuturkan kisah perjuangannya dengan penuh semangat. Dia akan menuturkan bahwa perjuangan yang ia lakukan bersifat tanpa pamrih. Rela berkorban dan semangat nasionalisme sangat mewarnai perjuangan yang ia lakukan. Kisah perjuangannya penuh dengan nilai-nilai berupa semangat rela berkorban yang tinggi, mementingkan kepentingan bersama, tidak mementingkan kepentingan pribadi, bahkan jiwa dan raga sebagai taruhannya dalam berjuang.

2. Kelompok sosialnya
    Profesi yang dimiliki oleh penulis sejarah akan mewarnai hasil penulisannya. Sejarawan, wartawan, guru, penulis bebas dan lain-lain, merupakan bentuk profesi. Profesi-profesi tersebut bisa disebut dengan kelompok sosial. Dalam kelompok sosial, biasanya individu bergaul atau berhubungan dengan sesama pekerjaannya atau statusnya. Tidak sedikit dari profesi yang bukan sejarawan menulis sejarah. Misalnya, wartawan menulis peristiwa sejarah dalam surat kabar atau majalahnya. Begitu pula, ada guru yang menulis sejarah untuk kepentingan pengajaran sekolahnya. Setiap kelompok sosial tersebut kemungkinan akan berbeda dalam memberikan interpretasi terhadap sejarah yang ditulisnya. Seorang sejarawan, akan menulis sejarah dengan menggunakan kaidah-kaidah akademik dari ilmu sejarah. Langkah-langkah penelitian sejarah sebagai salah satu dari disiplin ilmu pengetahuan akan digunakan oleh sejarawan dalam menulis sejarah. Dalam hal ini, sejarah menjadi suatu tulisan ilmiah. Kepentingannya adalah untuk lingkungan akademik, misalnya di perguruan tinggi.
    Profesi guru sebagai pendidik akan menampilkan penulisan sejarah untuk kepentingan nilai-nilai kependidikan. Hal ini dapat kita lihat dalam bukubuku pelajaran sejarah yang ada di sekolah. Peristiwa sejarah yang ditampilkan bukan untuk kepentingan akademik yang bersifat ilmiah, tetapi ditujukan untuk kepentingan nilai-nilai kependidikan yang bersifat praktis.
    Walaupun buku sejarah di sekolah ditujukan untuk kepentingan nilainilai kependidikan, tidaklah berarti mengabaikan aspek ilmiah dari buku tersebut. Hanya kadar ilmiah yang ditampilkan tidak sederajat dengan di perguruan tinggi. Keilmiahan tetap harus ditampilkan dalam mengungkap sumber sejarah yang merupakan sumber pengetahuan sejarah. Misalnya dalam menulis perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan Belanda, harus ada sumber yang mengungkap siapa yang berjuang, di mana perjuangannya, kapan peristiwa itu terjadi dan lain-lainnya. Adapun nilai-nilai kependidikan yang dapat diinterpretasikan dari peristiwa tersebut misalnya semangat kebangsaan dalam menentang penjajahan.
    Begitu pula halnya penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang wartawan. Wartawan dalam menulis sejarah akan diwarnai oleh gaya bahasanya sebagai seorang jurnalis. Tulisan sejarah seorang wartawan biasanya akan layak dibaca oleh masyarakat umum. Misalnya dalam menulis biografi seorang tokoh, seorang wartawan berusaha agar tokoh tersebut dapat dikenal oleh khalayak umum.
3. Perbendaharaan pengetahuan
    Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh terhadap hasil karya tulis sejarah yang ditulisnya. Profesi yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi ukuran seberapa jauh pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan tersebut dapat berupa pengetahuan fakta maupun pengetahuan dari ilmu pengetahuan. Penulis yang memiliki pengetahuan fakta yang banyak, maka cerita sejarahnya akan lebih lengkap, mendetail, dan memberikan informasi yang lebih banyak.
    Penutur lisan pun akan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya ketika ia menuturkan kisah sejarah. Kisah sejarah akan memiliki perbedaan antara seorang penutur yang mengalami langsung peristiwa tersebut dengan yang tidak langsung menyaksikannya. Seorang saksi yang melihat suatu peristiwa sejarah akan memiliki pengetahuan fakta yang lebih banyak dibanding dengan orang yang tidak terlibat langsung, walaupun orang tersebut mengetahuinya. Misalnya, apabila kita menanyakan kepada seorang mantan prajurit pada masa perang dengan Belanda, maka ceritanya akan lebih lengkap. Dia akan menceritakan bagaimana strategi yang dilakukan agar tidak diketahui oleh Belanda, bagaimana sikap masyarakat yang membantu para pejuang, berapa orang yang ikut terlibat, dan pengetahuan-pengetahuan fakta lainnya. Lain halnya kalau kita menanyakan kisah perjuangan kepada seorang petani. Mungkin petani itu tahu adanya serangan Belanda ke daerahnya, akan tetapi pada saat itu ia tidak melakukan tindakan membalas serangan Belanda sebagaimana yang dilakukan oleh prajurit. Ketika peristiwa itu terjadi, mungkin petani tersebut mengungsi sehingga informasi tentang perjuangan melawan Belanda sangat terbatas.
    Sebagaimana telah dikemukakan, pengetahuan dalam ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi dalam hal penuturan kisah sejarah. Seorang yang memiliki ilmu pengetahuan sejarah akan berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan sejarah. Sejarawan akan kaya dengan pendekatan penulisan, dibandingkan dengan seorang guru, sehingga karya sejarahnya pun akan memberikan interpretasi yang berbeda.
    Seorang penulis sejarah yang berasal dari kalangan sejarawan atau orang yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah, akan memiliki perbedaan dalam mengisahkan sejarah dengan orang yang bukan sejarawan atau tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah. Dalam mengisahkan suatu peristiwa sejarah, seorang sejarawan atau orang yang memiliki latar belakang pendidikan sejarah, akan menggunakan analisis berdasarkan pada metodologi dan teori yang digunakannya. Bukan hanya sekedar cerita yang bersifat naratif atau hanya menyajikan rentetan waktu dan peristiwa. Sejarah pada dasarnya adalah sejarah masyarakat, maka sejarawan akan melihat masyarakat sebagai suatu struktur. Dalam konteks waktu bagaimana struktur itu berubah. Misalnya bagaimana perubahan yang terjadi pada masyarakat dalam suatu desa dari tahun 1970-1980 ketika munculnya industrialisasi dalam bentuk dibangunnya pabrik-pabrik di daerah desa tersebut? Apakah masyarakat berubah pekerjaan dari petani menjadi tukang ojek; dari petani menjadi kuli bangunan atau dari petani menjadi buruh pabrik?
    Lain halnya kalau sejarah dikisahkan oleh orang yang bukan seorang sejarawan. Kisah sejarah lebih banyak berupa cerita yang sebatas pada rentetan waktu dan peristiwa. Seleksi terhadap fakta-fakta sejarah tidak bersifat analisis. Kisah cerita sejarah lebih banyak menampilkan apa yang terjadi, siapa tokohnya, kapan peristiwa itu terjadi, dan di mana peristiwa itu terjadi. Bahkan kalau sejarah itu bercerita tentang seseorang pada masa lalunya, ada kesan bahwa orang tersebut melakukan suatu tindakan yang benar, tidak ada kesalahannya. Penulisan sejarah yang seperti inilah yang biasanya menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat. Kritik terhadap sumber yang bersifat analitis tidak banyak dilakukan. Kebenaran bukan didasarkan pada sumber atau faktanya, tetapi lebih pada cerita yang dikisahkannya atau sering dikatakan retorikanya.
4. Kemampuan berbahasa
    Pengkisahan dalam bentuk tulisan pada dasarnya merupakan kemampuan berbahasa yang ditampilkan dalam bentuk tulisan. Interpretasi terhadap sumbersumber sejarah akan menggunakan kaidah-kaidah bahasa penulisan. Dalam bahasa, seseorang yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik akan berbeda dengan yang tidak terampil dalam bahasa tulisan. Seorang penulis yang kurang terampil berbahasa tulisan, mungkin saja cerita sejarah yang ditampilkannya sulit dipahami karena bahasa yang digunakan kurang baik. Walaupun pemaparan faktanya cukup banyak. Penulisan sejarah pada dasarnya merupakan suatu kemampuan merekonstruksi sumber-sumber sejarah dalam berupa tulisan cerita. Kemampuan merekonstruksi sangat ditentukan oleh kemampuan berimajinasi. Berimajinasi dalam menulis sejarah yaitu bagaimana seorang penulis sejarah merekonstruksi fakta-fakta atau bukti-bukti sejarah yang kemudian ia susun dalam bentuk cerita sejarah yang dapat dibaca oleh orang lain. Peninggalan-peninggalan sejarah yang berupa benda mati, akan menjadi hidup manakala direkonstruksi dalam cerita sejarah. Apabila kemampuan imajinasi tidak dimiliki oleh seorang penulis sejarah, maka cerita sejarahnya menjadi kering, tidak hidup.
    Rekonstruksi ibarat membentuk suatu bangunan. Misalnya sumber sejarah itu ibarat batang korek api. Apabila batang korek api yang berserakan itu kita rekonstruksi menjadi suatu bentuk mainan, maka kumpulan batang korek api itu menjadi menarik. Bentuk bangunan korek api yang merupakan hasil rekonstruksi itu akan sangat ditentukan oleh kemampuan berbahasa. Merekonstruksi imajinasi merupakan kemampuan berbahasa. Bentuk mainan korek api itu menjadi menarik, indah dipandang, sama halnya dengan penggunaan gaya bahasa imajinatif yang indah dan enak dibaca. Masa lalu akan menjadi hidup manakala seorang penulis sejarah mampu mengkisahkan dengan gaya bahasa yang baik.

    Sejarah sebagai kisah adalah hasil karya, cipta, dan penelitian berbagai ahli yang kemudian menulisnya. Penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan harus melalui penafsiran yang mendekati kebenaran peristiwa yang terjadi. Sementara itu, untuk merekonstruksi kisah sejarah harus mengikuti metode analisis serta pendekatan tertentu. Dengan kata lain, sejarah sebagai kisah adalah kejadian masa lalu yang diungkapkan kembali berdasarkan penafsiran dan interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Menyusun kisah sejarah dari suatu masyarakat, bangsa, dan negara tidaklah mudah karena jejak-jejak sejarah yang ditinggalkannya tidak sedikit. Oleh karena itu, dalam penyusunannya memerlukan penelaahan yang sangat jeli dan bijaksana serta verifikatif sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penyusunan sejarah sebagai kisah, para sejarawan menggunakan dasar jejak-jejak yang ditinggalkan oleh sejarah sebagai peristiwa. Jejak-jejak sejarah yang berisi kehidupan rangkaian peristiwa atau kejadian dalam lingkup kehidupan manusia menjadi sumber penting dalam penulisan kisah sejarah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Sebagai Kisah (Contoh dan Faktor Subjektifitas Dalam Sejarah Sebagai Kisah)"

Posting Komentar