Kerajaan Sunda (Letak, Raja-Raja, Sumber Sejarah Prasasti, Runtuhnya Kerajaan Sunda dan Peristiwa Bubat)

Kerajaan Sunda berdiri dengan pusat kerajaan mulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran, kerajaan ini muncul setelah Tarumanagara runtuh pada 670 M. Menurut Carita Parahyangan, raja yang berkuasa di Galuh ialah Sanna atau Sena yang mempunyai putra bernama Sanjaya. Namun, berdasarkan isi Prasasti Canggal (732 M) disebutkan Sanjaya ialah anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Berdasarkan kedua berita itu dapat disimpulkan bahwa Sanjaya ialah anak Sanna atau Sena dari perkawinannya dengan Sannaha. Raja Sanna atau Sena ini kemudian dikalahkan oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu Raja Sena), namun Sanjaya berhasil merebut kembali Kerajaan Galuh.
    Nama Sunda muncul pada Prasasti Sanghiang Tapak (1030 M) yang ditemukan di Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, Cibadak, Sukabumi. Nama tokoh yang disebut di sini ialah Maharaja Sri Jayabhupati yang menganut agama Hindu. Menurut Carita Parahyangan, pusat Kerajaan Sunda pada masa Sri Jayabhupati terletak di Pakuan Pajajaran. Pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu, pusat Kerajaan Sunda terletak di Kawali. Dari prasasti-prasasti Kawali diperoleh keterangan bahwa di Kota Kawali terdapat keraton bernama Surawisesa. Jika dilihat dari Prasasti Batu tulis, tokoh Prabu Raja Wastu sama dengan tokoh yang disebut sebagai Rahyang Niskala Wastu Kancana sebagai tokoh yang digantikan oleh Susuhunan di Pakuan Pajajaran.
    Menurut Carita Parahyangan ketika terjadi Peristiwa Bubat, Wastu Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya diserahkan kepada pengasuhnya Hyang Bunisora. Jadi, tidak benar dalam Peristiwa Bubat itu Kerajaan Sunda tidak punya raja lagi. Wastu Kancana menerima tampuk pemerintahan (1371–1471 M). Ia, kemudian digantikan oleh anaknya Ningrat Kancana atau Tohaan di Galuh.

Cerita tentang kerajaan Hindu di Jawa Barat setelah kerajaan Tarumanagara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Dalam Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebut sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda.
    Mendengar nama Sanjaya dan Sena bahwa kedua nama itu tercantum juga dalam prasati Canggal (732 M), yang menceritakan asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Lama (Kuno). Bila kita bandingkan isi Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, ada kemungkinan Sanjaya di sana adalah orang yang sama. Sedangkan Sannaha dalam prasasti Canggal, kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan. Dengan demikian, di Jawa Barat pada masa itu ada kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya Sanjaya.
Peta Kerajaan Sunda - Kerajaan Sunda (Letak, Raja-Raja, Sumber Sejarah, Runtuhnya Kerajaan Sunda)
Sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan Sunda di Jawa Barat adalah prasasti Sahyang Tapak (1030). Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno, huruf Kawi. Dalam prasasti ini disebutkan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Padjajaran. Dia beragama Hindu. Setelah raja Jayabhupati wafat ibukota kerajaan dipindahkan lagi dari Pakuan Padjajaran ke Kawali (Ciamis) oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana (raja pengganti Jayabhupati). Di Kawali ini Wastu Kencana mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. Rahyang Niskala Wastu Kencana selanjutnya digantikan Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kancana). Dewa Niskala sendiri nantinya digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal setelah tujuh tahun memerintah di Galuh. Ia tewas dalam peristiwa Bubat (1357) setelah Sri Baduga menolak memberikan Dyah Pitaloka sebagai upeti untuk Hayam Wuruk (Raja Majapahit). Kerajaan Sunda selanjutnya diperintah oleh Hyang Bunisora (1357-1371), Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1374), Tohaan (1475-1482), dan Ratu Jayadewata (1482- 1521).
    Menurut prasasti Batutulis pemerintahan Ratu Jayadewata ada di ibukota lama Pakuan Padjajaran. Kerajaan Sunda ini selanjutnya mulai terancam oleh perkembangan Banten dan Cirebon yang sudah menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang-orang Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru di pesisir utara, Sang Ratu Jayadewata mengutus Ratu Samiam (Prabu Surawisesa) ke Malaka untuk meminta bantuan pasukan Portugis memerangi orang-orang Islam. Menurut berita Portugis, utusan yang dipimpin Ratu Samiam itu datang pada tahun 1512 dan 1521. Ratu Samiam atau Prabu Surawisesa menurut carita Parahyiangan menjadi raja Sunda pada tahun 1521-1535.
    Tindakan yang dilakukan oleh kerajaan Sunda itu tidak disukai oleh kerajaan Demak. Di bawah kepemimpinan Sultan Trenggono, ia berusaha bertindak untuk menghentikan pengaruh Portugis di Jawa. Dikirimlah menantunya yang bernama Fatahillah untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa dan menguasai pelabuhan tersebut. Keadaan tersebut secara politis menekan kerajaan Sunda. Selanjutnya pada masa Raja Nuisya Mulya, kerajaan Sunda runtuh pada tahun 1579 akibat adanya serangan dari Kesultanan Banten di bawah pemerintahan Maulana Yusuf.

Peristiwa Bubat
    Peristiwa Bubat Suatu ketika, Raja Hayam Wuruk akan menikahi putri raja Pajajaran bernama Putri Dyah Citraresmi Pitaloka. Sri Baduga Maharaja sebagai raja Pajajaran berkeinginan agar putrinya dilamar oleh Hayam Wuruk. Akan tetapi, Gajah Mada berpendapat bahwa Putri Dyah hendaknya diserahkan sebagai jarahan atas daerah taklukan. Perbedaan sikap seperti ini akhirnya meruncing hingga terjadilah Perang Bubat yang berakibat seluruh prajurit Pajajaran tewas. Putri Dyah Citraresmi Pitaloka melakukan bela, yaitu bunuh diri bersama dengan seluruh inangnya.
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, 1990

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kerajaan Sunda (Letak, Raja-Raja, Sumber Sejarah Prasasti, Runtuhnya Kerajaan Sunda dan Peristiwa Bubat)"

Posting Komentar