Munculnya Kerajaan Bali diketahui dari tiga buah prasasti yang ditemukan di Belonjong (Sanur), Panempahan, dan Maletgede yang berangka tahun 913 M. Ketiga prasasti tersebut ditulis dengan huruf Nagari dan Kawi, serta berbahasa Bali kuno dan Sanskerta. Dari ketiga prasasti tersebut tertulis raja Bali yang bernama Kesariwarmadewa pendiri Wangsa Warmadewa di Bali. Berdasarkan catatan yang ditemukan dalam prasastiprasasti, pengaruh agama dan kebudayaan Buddha di Bali datang lebih dulu dibandingkan dengan pengaruh Hindu.
Prasasti berangka tahun 882 M yang menggunakan bahasa Bali kuno menerangkan tentang pemberian izin kepada para biksu untuk mem buat pertapaan di Bukit Cintamani. Pengaruh Hindu di Bali cukup kuat ketika Bali berada di bawah kekuasaan Jawa Timur sejak abad ke-10 M dan pada masa kekuasaan Majapahit abad ke-14 M.
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha tidak mengubah bentuk bangunan peribadatan setempat, yaitu pura yang mirip dengan bangunan punden berundak pening galan zaman Megalitikum. Pada zaman setelah masuknya Hindu, kepercayaan terhadap animisme pun masih kuat. Hal ini tercermin dari kepercayaan mereka terhadap dewa-dewa gunung, batu-batu besar, laut, dan dewadewa lain yang ber kaitan dengan alam. Raja-raja Bali pun tetap menggunakan gelar-gelar kebangsawanan khas Bali. Adapun dalam keluarga masyarakat Bali dikenal nama-nama anak berdasarkan urutan kelahirannya. Misalnya, anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat, yaitu Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut.
Prasasti berangka tahun 882 M yang menggunakan bahasa Bali kuno menerangkan tentang pemberian izin kepada para biksu untuk mem buat pertapaan di Bukit Cintamani. Pengaruh Hindu di Bali cukup kuat ketika Bali berada di bawah kekuasaan Jawa Timur sejak abad ke-10 M dan pada masa kekuasaan Majapahit abad ke-14 M.
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha tidak mengubah bentuk bangunan peribadatan setempat, yaitu pura yang mirip dengan bangunan punden berundak pening galan zaman Megalitikum. Pada zaman setelah masuknya Hindu, kepercayaan terhadap animisme pun masih kuat. Hal ini tercermin dari kepercayaan mereka terhadap dewa-dewa gunung, batu-batu besar, laut, dan dewadewa lain yang ber kaitan dengan alam. Raja-raja Bali pun tetap menggunakan gelar-gelar kebangsawanan khas Bali. Adapun dalam keluarga masyarakat Bali dikenal nama-nama anak berdasarkan urutan kelahirannya. Misalnya, anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat, yaitu Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut.
Berdasarkan prasasti-prasasti di Bali di ketahui bahwa sejak dulu masyarakat Bali hidup bercocok tanam. Dalam prasasti disebut istilah sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), dan kasuwakan (pengairan sawah). Dalam Prasasti Klungkung (1072 M) disebutkan istilah kasuwakan yang berkembang menjadi istilah subak. Subak yang dikenal sekarang dalam sistem pertanian di Bali sudah dikenal sejak abad 11 M. Selain sektor pertanian, dikembangkan pula sektor perdagangan. Berdasarkan berita Prasasti Banwa Bharu, Kerajaan Bali sudah mengenal per dagangan antarpulau. Raja Bali sudah mengenakan bea cukai dan pajak terhadap barang yang diperjual belikan dengan tidak memberatkan.
Ciri masyarakat Bali kuno lainnya, yaitu sikap terbuka dalam mengeluarkan pendapat. Walaupun mendapat pengaruh Hindu dan Buddha, budaya Bali tetap menampil kan ciri-ciri khususnya yang berbeda dengan kebudayaan India.
Ciri masyarakat Bali kuno lainnya, yaitu sikap terbuka dalam mengeluarkan pendapat. Walaupun mendapat pengaruh Hindu dan Buddha, budaya Bali tetap menampil kan ciri-ciri khususnya yang berbeda dengan kebudayaan India.
Pada abad ke-7, nama Bali dalam berita Cina disebut dengan rnama Dwa-pa-tan, yang terletak di sebelah timur kerajaan Holing (Jawa). Menurut para ahli nama Dwa-pa-tan ini sama dengan Bali. Pengaruh Hindu di Bali berasal dari Jawa Timur, ketika Bali berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, ada sebagian penduduk yang melarikan diri ke Bali, sehingga banyak penduduk Bali sekarang yang menganggap dirinya keturunan dari Majapahit.
Prasasti yang menceritakan raja yang berkuasa di Bali ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur. Prasasti ini berangka tahun 914. Dalam prasasti ini disebutkan Raja yang bernama Khesari Warmadewa, istananya terletak di Sanghadwala. Prasasti ini ditulis dengan huruf nagari (India) dan sebagian lagi berhuruf Bali Kuno, tetapi berbahasa Sansakerta. Raja selanjutnya yang berkuasa adalah Ugrasena pada tahun 915. Ugrasena digantikan oleh Tabanendra Warmadewa (955-967). Tabanendra kemudian digantikan oleh Jayasingha Warmadewa yang membangun dua buah pemandian suci di Desa Manukraya. Jayasingha kemudian digantikan oleh Jayasadhu Warmadewa yang memerintah dari tahun 975-983. Jayasadhu digantikan oleh adiknya Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia kemudian digantikan oleh Dharmodayana yang terkenal dengan nama Udayana yang naik tahta pada tahun 989. Udayana memerintah sampai tahun 1011. Salah seorang anaknya yaitu Airlangga menikah dengan putri Dharmawangsa (raja Jawa Timur) sehingga Ia menjadi raja di Jawa Timur, sementara Marakata adiknya memerintah di Bali (1011-1022). Marakata adalah raja yang sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, sehingga ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Untuk kepentingan peribadatan, ia membangun prasada atau bangunan suci di Gunung Kawi daerah Tampak Siring. Selanjutnya Marakata digantikan oleh adiknya yang bernama Anak Wungsu, yang memerintah dari tahun 1049-1077. Pada masa pemerintahannya, keadaan negeri Bali sangat aman dan tentram. Rakyat hidup dengan bercocok tanam. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang seperti kerbau, kambing, lembu, babi, bebek, kuda, ayam, dan anjing. Anak Wungsu tidak memiliki anak dari permaisurinya. Ia meninggal pada tahun 1077 M dan didharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring.
Pengganti Anak Wungsu adalah Sri Maharaja Sri Walaprahu. Setelah pemerintahan Sri Walaprahu, muncul seorang ratu bernama Paduka Sri maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmiddhara Wijayatunggadewi. Masa pemerintahannya tidak banyak diketahui. Ia digantikan oleh Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun 1115-1119 M dan digantikan oleh Sri Jayasakti. Pada masa pemerintahan Sri Jayasakti, dia sangat memperhatikan rakyatnya tindakan yang dilakukan anatara lain meringankan beban pajak rakyatnya. Sri Jayasakti memerintah hingga tahun 1150 dan digantikan oleh Ragajaya.
Setelah masa pemerintahan Ragajaya, di Bali terjadi kekosongan pemerintahan. Baru pada tahun 1170 muncul nama seorang raja yang bernama Jayapangus. Pada masa pemerintahan Jayapangus, kitab hukum yang dipakai adalah kitab hukum Manawakamandaka. Setelah Jayapangus masih banyak lagi raja lainnya yang memerintah di Bali. Sewaktu Bali diperintah oleh Bhatara Sri Asta-asura-ratna Bumi Banten, Bali tahun 1430 ditaklukan oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Raja Bali ini menjadi raja terakhir yang memerintah di Bali. Sejak tahun itu Bali diperintah oleh raja-raja keturunan Jawa yang menganggap dirinya sebagai “wong Majapahit” artinya keturunan Majapahit. Walaupun demikian, di Bali masih terdapat kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Tabanan, Karangassem, dan Buleleng.
Prasasti yang menceritakan raja yang berkuasa di Bali ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur. Prasasti ini berangka tahun 914. Dalam prasasti ini disebutkan Raja yang bernama Khesari Warmadewa, istananya terletak di Sanghadwala. Prasasti ini ditulis dengan huruf nagari (India) dan sebagian lagi berhuruf Bali Kuno, tetapi berbahasa Sansakerta. Raja selanjutnya yang berkuasa adalah Ugrasena pada tahun 915. Ugrasena digantikan oleh Tabanendra Warmadewa (955-967). Tabanendra kemudian digantikan oleh Jayasingha Warmadewa yang membangun dua buah pemandian suci di Desa Manukraya. Jayasingha kemudian digantikan oleh Jayasadhu Warmadewa yang memerintah dari tahun 975-983. Jayasadhu digantikan oleh adiknya Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia kemudian digantikan oleh Dharmodayana yang terkenal dengan nama Udayana yang naik tahta pada tahun 989. Udayana memerintah sampai tahun 1011. Salah seorang anaknya yaitu Airlangga menikah dengan putri Dharmawangsa (raja Jawa Timur) sehingga Ia menjadi raja di Jawa Timur, sementara Marakata adiknya memerintah di Bali (1011-1022). Marakata adalah raja yang sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, sehingga ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Untuk kepentingan peribadatan, ia membangun prasada atau bangunan suci di Gunung Kawi daerah Tampak Siring. Selanjutnya Marakata digantikan oleh adiknya yang bernama Anak Wungsu, yang memerintah dari tahun 1049-1077. Pada masa pemerintahannya, keadaan negeri Bali sangat aman dan tentram. Rakyat hidup dengan bercocok tanam. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang seperti kerbau, kambing, lembu, babi, bebek, kuda, ayam, dan anjing. Anak Wungsu tidak memiliki anak dari permaisurinya. Ia meninggal pada tahun 1077 M dan didharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring.
Pengganti Anak Wungsu adalah Sri Maharaja Sri Walaprahu. Setelah pemerintahan Sri Walaprahu, muncul seorang ratu bernama Paduka Sri maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmiddhara Wijayatunggadewi. Masa pemerintahannya tidak banyak diketahui. Ia digantikan oleh Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun 1115-1119 M dan digantikan oleh Sri Jayasakti. Pada masa pemerintahan Sri Jayasakti, dia sangat memperhatikan rakyatnya tindakan yang dilakukan anatara lain meringankan beban pajak rakyatnya. Sri Jayasakti memerintah hingga tahun 1150 dan digantikan oleh Ragajaya.
Setelah masa pemerintahan Ragajaya, di Bali terjadi kekosongan pemerintahan. Baru pada tahun 1170 muncul nama seorang raja yang bernama Jayapangus. Pada masa pemerintahan Jayapangus, kitab hukum yang dipakai adalah kitab hukum Manawakamandaka. Setelah Jayapangus masih banyak lagi raja lainnya yang memerintah di Bali. Sewaktu Bali diperintah oleh Bhatara Sri Asta-asura-ratna Bumi Banten, Bali tahun 1430 ditaklukan oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Raja Bali ini menjadi raja terakhir yang memerintah di Bali. Sejak tahun itu Bali diperintah oleh raja-raja keturunan Jawa yang menganggap dirinya sebagai “wong Majapahit” artinya keturunan Majapahit. Walaupun demikian, di Bali masih terdapat kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Tabanan, Karangassem, dan Buleleng.
(Sumber ref: Buku IPS)
0 Response to "Kerajaan Bali (Prasasti Sumber Sejarah, Raja-Raja, Runtuhnya, dan Ciri Masyarakat Bali)"
Posting Komentar