Kerajaan Aceh (Pendiri, Letak, Faktor Perkembangan, Peninggalan, Raja, dan Sejarahnya)

Kerajaan Aceh didirikan oleh Muzaffar Syah pada awal abad ke-15. Letak Kerajaan Aceh di Selat Malaka yang beribu kota di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Kabupaten Pidie. Awal berdiri dan tumbuhnya Kesultanan Aceh berkaitan dengan keruntuhan Kerajaan Malaka. Setelah Malaka jatuh pada 1511 M, banyak orang Melayu di Malaka yang menyeberang Selat Malaka dan bermukim di Aceh.

Catatan!! ada sumber lain yang menyatakan sebagai berikut:
    Kerajaan Aceh didirikan pada tahun 1204 di bawah pemerintahan Sultan Jihan Syah. Pada waktu itu Aceh belum berdaulat karena merupakan kecil yang berada di bawah pengaruh Pedir. Akhirnya, Aceh berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Pedir dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh. Pada waktu itu, Aceh diperintah oleh Sultan Muhayat Syah (1514-1528). Pusat kerajaan dipindah ke Kutaraja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kerajaan Aceh:
  1. Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis.
  2. Tidak ada kerajaan besar yang menjadi saingan Aceh.
  3. Kepemimpinan Sultan Muhayat Syah dan Sultan Iskandar Muda yang tegas, tetapi bijaksana.
  4. Aceh telah membangun hubungan kerja sama dengan Kesultanan Turki.
Peniggalan Kerajaan Aceh
Peninggalan kerajaan aceh masjid Baiturrahman dan Makam Sultan Iskandar Muda
  1. Peninggalan kerajaan aceh yang paling terkenal adalah masjid Baiturrahaman.
  2. Makam Iskandar Muda, Raja Aceh yang terkenal.
  3. Hiasan Makam Sultan Mughayat Syah

Sejarah Kerajaan Aceh
    Pada awal berdirinya, Kerajaan Aceh Darussalam hanya merupakan sebuah kerajaan kecil. Namun setelah Muzaffar Syah wafat dan digantikan oleh putranya Ali Mughayat Syah, kerajaan ini berkembang pesat. Ali Mughayat Syah berhasil mempersatukan seluruh wilayah Aceh, sehingga kerajaan berkembang lebih cepat. Kerajaan Aceh Darussalam banyak diuntungkan oleh mundurnya Kerajaan Samudera Pasai akibat perang saudara dan didudukinya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511. Para pedagang Islam dari Arab dan Gujarat lebih suka berlabuh di Aceh daripada di Malaka. Akibatnya, Kerajaan Aceh Darussalam berkembang menjadi sebuah kerajaan maritim yang besar dan mulai menggantikan peran Kerajaan Samudera Pasai sebagai penguasa perdagangan di kawasan Selat Malaka.
Relief Makam Raja kerajaan aceh Ali Mughayat Syah
Hiasan atau relief tersebut menggambarkan peninggalan Yang bercorak Islam.
    Di bawah pemerintahan Sultan Muhayat Syah, Aceh mengalami perkembangan yang pesat. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya disatukan sehingga wilayah kekuasaannya semakin luas. Kerajaan-kerajaan kecil yang disatukan, di antaranya Samudera Pasai, Perlak, Lamuri, Benoa Temiang, dan Indera Jaya. Bahkan, kerajaan Pedir yang pernah menguasai pun dapat ditahlukan, meskipun Pedir bersekutu dengan bangsa Portugis. Di samping itu, Aceh sangat berambisi untuk memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke pantai Timur Sumatera. Usaha Aceh untuk menguasai pantai Timur Sumatera tidak mudah karena wilayahnya sangat luas dan mendapat perlawanan dari kerajaan Aru. Dalam sebuah peperangan, kerajaan Aru berhasil dikalahkan. Untuk mengontrol daerah
yang baru, Sultan Aceh mengirimkan seorang panglima perang, yaitu Gocah Pahlawan. Kemudian, Gocah Pahlawan dikenal sebagai orang yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang (Sumatera Utara).
    Setelah Sultan Mughayat Syah wafat, ia digantikan oleh puteranya yang bernama Sultan Salahuddin (1528-1537). Pemerintahan Salahuddin amat lemah dan selalu memberi peluang kepada bangsa Portugis untuk menjalin kerja sama. Akhirnya, Salahuddin dijatuhkan oleh saudaranya, yaitu Raja Ali. Kemudian Raja Ali naik tahta dengan gelar Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1468). Pada masa pemerintahannya, Aceh pernah menyerang Johor yang bersekutu dengan Portugis. Meskipun, raja Johor berhasil ditawan, tetapi Johor tetap menjadi kerajaan yang merdeka. Sementara untuk memperkuat kedudukannya, Aceh menjalin kerja sama dengan Turki, Persia, India, dan kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa.

Peta wilayah Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda
    Aceh semakin berkembang dan mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang naik tahta pada abad ke-17. Wilayahnya, meliputi Pariaman di Sumatra Barat, Indragiri di Sumatra Timur, Deli, Nias, Johor, Pahang, Kedah, dan Perlak. Sultan Iskandar Muda bersikap anti penjajah. Ia bercita-cita dapat mengusir Portugis dari Malaka.
Berikut ini beberapa tindakan yang dilakukan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan Aceh.
  1. Memperluas daerah kekuasaan ke Semenanjung Malaka dengan dikuasainya kerajaan Kedah, Perak, Johor, dan Pahang. Daerah pantai barat dan timur Sumatera dikuasainya sampai ke Pariaman yang merupakan jalur masuk Islam ke Minaangkabau.
  2. Untuk memperlemah kekuasaan Portugis, Iskandar Muda membuka kerja sama dengan Belanda dan Inggris dengan mengijinkan kongsi dagang mereka, yaitu VOC dan EIC untuk membuka kantor cabangnya di Aceh.
  3. Menyerang Portugis di Malaka dan sempat mengalahkan Portugis di Pulau Bintan pada tahun 1614.
  4. Mendirikan Masjid Baiturrahman di pusat ibukota kerajaan Aceh.
Pada masa kekuasaan Iskandar Muda disusun suatu Undang-undang tentang tata Pemerintahan. Undang-undang itu disebut Adat Mahkota Alam. Dalam bidang ekonomi, Iskandar Muda mengembangkan tanaman lada yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang Eropa dan Asia. Pengembangan sastra mendapat perhatian sehingga muncul ahli-ahli sastra seperti Nuruddin Ar-Raniri dan Hamzah Fansuri. Pada masa pemerintahannya, seluruh Sumatra berhasil dipersatukan di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam juga mulai bisa mengimbangi kekuatan Portugis di Selat Malaka hingga akhirnya mampu merebut Johor dan Pahang dari pendudukan Portugis. Kesultanan Aceh memperkuat kedudukannya sebagai pusat perdagangan dengan menyerang kedudukan Portugis di Malaka pada 1629 M. Namun, usaha tersebut tidak berhasil karena Portugis berhasil mendatangkan bala bantuan pasukannya dari Gowa, India. Iskandar Muda akhirnya wafat pada tahun 1636 M dan digantikan putranya yang bernama Iskandar Thani.
    Pada masa pemerintahannya, kejayaan Kesultanan Aceh semakin meningkat. Namun, berbeda dengan pendahulunya, Sultan Iskandar Thani lebih mementingkan pengembangan di dalam negerinya, seperti penegakan syari’at Islam dalam masyarakat serta menjalin hubungan dengan daerah taklukan secara liberal bukan lagi tekanan politik dan militer. Pada masa itu pun hadir beberapa orang ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri. Ulama Islam terkenal lainnya adalah Syekh Nuruddin Ar-Ranairi yang berasal dari Singkil atau disebut pula Kuala sehingga Ar-Ranairi di sebuat juga Syiah Kuala. Beliaulah yang pertama kali diangkat sebagai imam besar Mesjid Raya Baiturrahman. Untuk mengabadikan namanya, di Aceh didirikan sebuah perguruan tinggi negeri yang berna Syiah Kuala, yaitu Universitas Syiah Kuala.

Sepeninggal Iskandar Thani, Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kemunduran. Ini disebabkan oleh banyaknya wilayah taklukan yang mengundurkan diri dan menguatnya gangguan dari bangsa-bangsa Eropa di Selat Malaka. Sehingga, Kerajaan Aceh Darussalam tidak mampu lagi melanjutkan peran besarnya sebagai penguasa perdagangan di Selat Malaka. Meskipun demikian, Kesultanan Aceh dapat bertahan sampai awal abad ke-20 M.


Jika diurutkan Raja-Raja Kerajaan Aceh yang silih berganti adalah sebagai berikut:
1. Sultan Ali Mughayat Syah
    Sultan Ali Mughayat Syah yang memerintah pada 1514 - 1528 adalah pendiri Kerajaan Aceh. Pada awalnya merupakan bagian dari kerajaan Pidie. Namun, berkat kegigihannya, Kerajaan Aceh mampu melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie.
2. Salahudin
    Salahudin adalah pengganti Sultan Mughayat Syah. Salahudin gagal menyerang Malaka. Karena kegagalannya itulah, maka pada tahun 1537, Salahudin dijatuhkan oleh Alaudin Riayat Syah Al Kahar.
3. Alaudin Riayat Syah Al Kahar
    Alaudin Riayat Syah Al Kahar pengganti Salahudin menyerang wilayah Batak, Aru, Johor, dan Malaka.
4. Sultan Iskandar Muda
    Sultan Iskandar Muda memerintah pada 1607-1636. Semasa pemerintahannya, Kerajaan Aceh mampu memperluas wilayah sampai ke Semenanjung Malaya (Johor, Pahang, dan Kedah). Kekuatan utama Kerajaan Aceh terletak pada angkatan perangnya. Armada angkatan lautnya merupakan yang terkuat di Selat Malaka. Pada masa ini, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan. Kerajaan Aceh menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Turki, Persia, Cina, dan India. Pada masa pemerintahannya hidup ulama terkenal Syeh Abdurauf Singkil, yang mampu menerjemahkan Alquran dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Hidup pula sastrawan terkenal pada masa Sultan Iskandar Muda, yakni Hamzah Fansuri.
5. Sultan Iskandar Thani
    Sultan Iskandar Thani adalah pengganti Sultan Iskandar Muda. Ia memerintah pada 1636 - 1641. Semasa Sultan Thani, Kerajaan Aceh tidak mengalami kemajuan. Setelah beliau wafat, Kerajaan Aceh makin mundur. Kemunduran Kerajaan Aceh disebabkan oleh pertikaian dalam kerajaan. Pada suatu waktu Belanda berhasil menguasai Malaka dan Nusantara.

Kerajaan Aceh di Bidang Sosial dan Ekonomi
  • Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam. Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil. Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke Jawa.
  • Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kerajaan Aceh (Pendiri, Letak, Faktor Perkembangan, Peninggalan, Raja, dan Sejarahnya)"

Posting Komentar