Usaha mempertahankan kemerdekaan diberbagai daerah ~ Seiring dengan terbentuknya negara dan pemerintahan Indonesia, di berbagai daerah juga terbentuk pemerintahan. Bahkan, mereka telah berjuang sebelum pemerintahan di daerah itu terbentuk. Demikianlah, upaya pemerintah di daerah Jakarta dalam menghadapi masuknya kembali bangsa Belanda.
1. Pemerintahan di Kalimantan Selatan
Usaha untuk mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan Selatan direalisasikan dengan dikeluarkannya maklumat pendirian pemerintah Republik tanggal 10 Oktober 1945 yang ditandatangani oleh Pangeran Musa. Kegelisahan segera dirasakan rakyat setelah pada bulan itu juga NICA memberlakukan Staat van Oorlog en Beleg (SOB), yaitu permakluman keadaan darurat perang. Berbagai penangkapan mulai dilakukan dengan sasaran utama merebut kekuasaan. Untuk mencegah timbulnya kerusuhan, para pemuka mengadakan perundingan di kantor gubernur. Mereka berhasil membuat resolusi yang disampaikan kepada Residen Obermann, yang isinya antara lain berisi kegelisahan mulai melanda rakyat karena Belanda merebut kekuasaan dari tangan orang Indonesia dan bertindak kejam. Oleh karena itu, rapat mengusulkan mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih, mencegah kekejaman militer, melepaskan tahanan politik, mengadakan perundingan di
”Majelis Pemuka Rakyat”, dan menetapkan pegawai dalam pangkatnya. Namun, dari usulan itu hanya pengibaran bendera yang tidak diizinkan oleh residen.
”Majelis Pemuka Rakyat”, dan menetapkan pegawai dalam pangkatnya. Namun, dari usulan itu hanya pengibaran bendera yang tidak diizinkan oleh residen.
Meskipun telah ada perundingan, tentara NICA tetap bernafsu mengadakan pembersihan untuk bisa menegakkan kembali jajahannya. Para pemimpin perjuangan, seperti Hadariyah M. dan Akhmad Ruslan mengadakan gerakan bawah tanah. Sementara itu, beberapa organisasi kelaskaran bersatu membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia Kalimantan (BPRIK). Pimpinan Republik sendiri saat itu dipindahkan ke Pengembangan dan perlawanan pemuda dijalankan melalui Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) di bawah F. Muhani dan Amin Effendi. Pada tanggal 29 Oktober 1945 para pemuda, seperti Amin Effendi, Aminudin, Abd. Kadiruwan, Untung, dan Sabri mengadakan rapat untuk mengadakan serangan tanggal 2 November 1945. Gubernur Pangeran Mohammad Noor waktu itu menyusun organisasi pemerintahan di Yogyakarta. Mulai tahun 1946, dikirimlah ekspedisi dari Pekalongan dan Tegal menuju Kalimantan yang dipimpin oleh Husin Hamzah dengan 55 orang anggota. Dalam sebuah insiden di Sungai Rangas dan Pangkalan Bun, Husin Hamzah gugur. Secara bergelombang kemudian dikirim ekspedisi-ekspedisi yang lain dari Jawa, antara lain rombongan PMC Kapten Mulyono dan Tjilik Riwoet. Tugas mereka adalah menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sementara itu, di kalangan rakyat terbentuk ”Serikat Kerakyatan Indonesia” (SKI) yang dipimpin Dr. Diapari. Tujuannya antara lain melanjutkan perjuangan kemerdekaan di lapangan politik. Pada tanggal 26 Februari 1946 Van Mook berusaha mengadu domba rakyat Kalimantan dengan mengundang wakil-wakil Kalimantan Selatan untuk bermusyawarah di Jakarta. Usaha ini gagal karena peserta rapat banyak mempermasalahkan alasan Belanda memilih utusan Borneo sementara di Jawa ada wakil Borneo, yaitu Ir. Pangeran Moh. Noor. Ada juga yang menginginkan agar musyawarah itu harus dihadiri Sutan Sjahrir. Demikianlah usaha Van Mook mengalami kegagalan.
Sementara itu, di kalangan rakyat terbentuk ”Serikat Kerakyatan Indonesia” (SKI) yang dipimpin Dr. Diapari. Tujuannya antara lain melanjutkan perjuangan kemerdekaan di lapangan politik. Pada tanggal 26 Februari 1946 Van Mook berusaha mengadu domba rakyat Kalimantan dengan mengundang wakil-wakil Kalimantan Selatan untuk bermusyawarah di Jakarta. Usaha ini gagal karena peserta rapat banyak mempermasalahkan alasan Belanda memilih utusan Borneo sementara di Jawa ada wakil Borneo, yaitu Ir. Pangeran Moh. Noor. Ada juga yang menginginkan agar musyawarah itu harus dihadiri Sutan Sjahrir. Demikianlah usaha Van Mook mengalami kegagalan.
2. Pemerintahan di Sumatra Selatan
Perjuangan pemerintah di daerah Sumatra Selatan memiliki dinamika yang berbeda bila dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Kuncinya terletak pada kepemimpinan yang dikembangkan di daerah. Dr. A.K. Gani selain sebagai residen Palembang, juga sebagai gubernur muda Sumatra Selatan, koordinator subkomandemen untuk seluruh Sumatra Selatan dan wakil menteri pertahanan. Kekuasaan sipil dan militer yang berada di tangannya itu menyebabkan ia mempunyai pengaruh yang kuat. Ia bisa membangun diplomasi dengan tentara Jepang yang berjumlah satu divisi. Ketegangan mulai muncul setelah tanggal 10-15 Oktober 1945, mendarat pasukan Sekutu dari Divisi India ke-26.
Apalagi, setelah Sekutu mengeluarkan maklumat yang berisi bahwa dalam 24 jam semua senjata yang ada di tangan para pemuda harus segera diserahkan kepada Sekutu. Pelan-pelan kekuasaan Jepang pun diambil alih oleh Sekutu. Pada tanggal 8 Desember 1945 Residen Palembang mengirim kawat kepada Kementerian Penerangan di Jakarta tentang perlucutan sepuluh ribu tentara Jepang oleh Sekutu di bawah pimpinan Mayjen Herbert.
3. Pemerintahan di Jambi
Pada tanggal 28 Desember 1945 Inggris mendarat di Jambi, tetapi ditahan oleh Komandan TKR Kolonel Abunjani. Perundingan pun diadakan antara tentara Inggris dengan Residen Republik Indonesia Inu Kertopati yang menghasilkan keputusan yaitu tentara Inggris hanya diberi waktu 24 jam untuk melihat korban yang dikubur di Muara Tebo.
Demikianlah, insiden demi insiden terjadi di Biliton (21 Oktober 1945), Kotomerapak (19–20 November 1945), Sungai Tanang (20 November 1945), dan lain-lain. Pada bulan Desember 1945 markas Sekutu di Hotel ”Mountbatten” Pekanbaru diserbu pemuda. Bendera Belanda diturunkan dan memicu ketegangan. Untuk meredakan ketegangan itu Gubernur Sumatra berunding dengan Komandan Sekutu Mayor Langley dengan keputusan yaitu bendera Belanda tidak boleh dinaikkan kembali, sebelum tanggal 26 November tentara Belanda harus dikeluarkan dari hotel tersebut, dan semua orang Belanda dipindahkan ke Pekanbaru.
Insiden pemuda dengan Inggris terjadi kembali setelah Mayor Anderson dan Nona Alinghan dari Palang Merah Inggris hilang. Inggris menuduh pemudalah yang menculiknya kemudian mereka membakar habis Kampung Alai, Gaung, dan Sungai Beramas. Pada tanggal 10 Desember 1945 mayat kedua orang itu ditemukan.
4. Pemerintahan di Aceh
Di Aceh, usaha mempertahankan kemerdekaan semula dipelopori oleh Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin Syamaun Gaharu bersama dengan Abdul Hamid Samalanga, Husein Yusuf, Nyak Neh, Said Usman, Said Ali, dan lain-lain. Susunan pengurus API ini kemudian menjadi cikal bakal TKR. Bersama rakyat mereka berhasil memperdaya tentara Jepang yang memang tengah frustasi. Dengan mudah mereka melucuti senjata Jepang di Sigli (200 pucuk), Seulimeum (180 pucuk), Kutaraja (600 pucuk dengan granat, meriam, dan gudang senjata), Lhokseumawe (600 pucuk), dan Peukan Cunda (60 pucuk). Senjatasenjata itu kemudian diserahkan kepada Residen Aceh Teuku Nya’Arif.
Pada tanggal 3 Desember 1945 terjadi ketegangan antara uleebalang, ulama, dan tentara Jepang. Pokok permasalahannya adalah soal rebutan senjata. Pihak Jepang tetap tidak mau menyerahkan senjata kepada uleebalang ataupun ulama. Akhirnya, Komandan TKR Syamaun Gaharu datang ke Sigli tanggal 4 Desember 1945 untuk berunding. Tentara Jepang hanya mau berunding dan menyerahkan senjatanya kepada pihak pemerintah Republik Indonesia (TKR). Senjata-senjata itu kemudian diangkut ke Kutaraja. Tanpa diduga dari arah Pidie dan Bambi datang 2.000-an rakyat bersenjatakan kelewang, tombak, rencong, dengan memakai tanda daun pucuk kelapa serta berseru ”sabilillah”.
Suasana menjadi panas setelah massa menahan Syamaun Gaharu yang dianggapnya menahan rakyat untuk masuk kota. Ia nyaris dibunuh oleh massa malam harinya. Untung Tengku Abdurrakhman Peusangan (wakil ketua umum Persatuan Ulama Seluruh Aceh/ PUSA) datang untuk meyakinkan massa.
Selanjutnya, untuk melerai insiden yang lebih besar antara rakyat dengan tentara Jepang, Gubernur Sumatra Mr. Teuku Hassan datang dengan pengawalan TKR dari Bireun. Perundingan diadakan antara kedua belah pihak dengan keputusan antara lain senjata-senjata Jepang hanya boleh diserahkan kepada pemerintah daerah Aceh; tanggung jawab keamanan Kota Sigli tetap berada di tangan pemerintah yang sah, dijaga oleh TKR, polisi, dan alat-alat pemerintah yang lain; rakyatdan uleebalang meninggalkan Kota Sigli dan kembali ke kotanya masingmasing dan jika terjadi suatu insiden dalam pemulangan ini, kepada masing-masing pihak harus bertanggung jawab. Tentara Jepang pun meninggalkan Aceh tanggal 10 Desember 1945.
5. Pemerintahan di Sulawesi Selatan
Upaya NICA untuk mencengkeram wilayah Sulawesi berhasil setelah mereka membujuk Najamudin Daeng Malewa. Hal ini dilakukan setelah membujuk Gubernur Ratulangi dan Tajudin Noor mengalami kegagalan. Dengan ditawari posisi yang tinggi, dengan gaji yang tinggi, dan tidak dianggap sebagai penjahat perang, Malewa mau melakukan apa pun perintah NICA. Ia antara lain berpidato melalui radio Hilversum untuk membentuk opini dan mempengaruhi rakyat. Akibatnya, Malewa dicap sebagai pengkhianat yang terus diburu oleh rakyat. Meskipun begitu, NICA pelan-pelan bisa menegakkan pemerintahannya di Sulawesi. Faktor yang mempermudah adalah tersedianya 49 kompi Belanda untuk daerah-daerah yang diduduki Australia, 2 divisi tentara Australia, 170.000 tentara Jepang, serta liciknya siasat politik yang mereka jalankan. Panglima Tentara Australia Brigadir F.O. Chilton sendiri memihak NICA.
Perjuangan untuk merebut kekuasaan dan pemerintahan pun dijalankan. Kelompok tua dan pemimpin politik bergerak di bidang politik, sementara para pemuda berjuang di medan laga. Pada tanggal 28 Februari 1946 KNI mengajukan resolusi yang ditandatangani Lanto Daeng Pasewang (ketua) dan W.S.T Pondaag (penulis). Isinya antara lain ”Kami tetap teguh menuntut pengakuan kemerdekaan yang bulat bagi negara kesatuan Indonesia, dan negara Sulawesi adalah sebagian yang tidak boleh dipisah-pisahkan dengan tetap setia berdiri di belakang pemerintah agung dari Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno-Sjahrir.” Gubernur Ratulangi sendiri mengusahakan simpati dunia internasional terhadap pergolakan di Sulawesi. Bersama sejumlah tokoh Sulawesi ia membuat pernyataan yaitu daerah Sulawesi adalah bagian yang tidak terpisah-pisahkan dari Republik Indonesia dan rakyat hanya mengakui pemerintahan republik yang diwakili oleh Gubernur Ratulangi. Pernyataan ini dibawa oleh sebuah delegasi yang terdiri atas Lanto Daeng Pasewang, Pondaag, dan Z. Abidin untuk diberikan kepada panglima tentara Sekutu agar diteruskan kepada UNO. Pernyataan tersebut kemudian dimuat di koran-koran Australia dan Amerika, sementara gubernur mengutus Mamesah untuk menyampaikan pernyataan itu kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Itulah sekelumit deskripsi sejarah tentang perjuangan pemerintah di berbagai daerah dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kita kini bisa mengetahui kondisi pemerintahan kita pada awal-awal kemerdekaan. Belum sempat menata struktur dan organisasi pemerintahan dari pusat hingga daerah, perjuangan harus dilalui untuk mempertahankan kemerdekaan yang terancam NICA. Tidak mengherankan apabila beberapa gubernur yang diangkat oleh presiden pada masa awal kemerdekaan ini masih berkantor dan mengendalikan pemerintahannya dari Jawa terutama Yogyakarta.
0 Response to "Perjuangan Pemerintah di Berbagai Daerah untuk Mempertahan Kemerdekaan"
Posting Komentar