Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, dan PRRI/Permesta

Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah pusat ini didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan- gerakan dewan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dari pemerintah pusat sehingga hubungan antara pusat dengan daerah kurang harmonis.
    Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya rasa ketidaksenangan di berbagai daerah. Pertama, alokasi biaya pembangunan yang diterima dari pusat tidak sesuai dengan harapan daerah. Kedua, di berbagai daerah belum muncul rasa percaya kepada pemerintah. Dari situlah kita bisa merunut munculnya berbagai gerakan dan pergolakan daerah yang mempengaruhi tatanan politik nasional. Gerakan-gerakan itu bisa berkembang karena adanya dukungan dari beberapa panglima daerah. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
1. Dewan Banteng
    Di Sumatra Barat muncul Dewan Banteng yang dibentuk oleh Letnan Kolonel Achmad Husein pada tanggal 20–25 November 1956. Achmad Husein adalah Komandan Resimen Infanteri IV. Gerakan ini menuntut agar pembangunan daerah harus dilakukan dengan menggali otonomi seluas-luasnya. Letkol Achmad Husein mengambil alih pemerintah daerah Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo. Salah satu alasannya karena gubernur gagal membangun daerah Sumatra Tengah dan ini diakui secara terus terang oleh gubernur. Tuntutan Dewan Banteng bisa dipahami oleh pemerintah pusat, tetapi pengambilalihan pemerintah daerah dianggap menyalahi hukum oleh pemerintah pusat. Dewan Banteng sendiri dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.

2. Dewan Gajah
    Pada tanggal 22 Desember 1956 dibentuk pula Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (Panglima Tentara dan Teritorium I/TTI). Salah satu alasannya karena situasi serta kondisi yang kritis ketika keadaan bangsa dan negara sedang kacau. Setelah menguasai RRI Medan, Simbolon mengumumkan meskipun Kota Medan kacau, hukum masih bisa ditegakkan. Bahkan, ia menyatakan tetap taat kepada Presiden Ir. Soekarno. Ini tentu membingungkan rakyat, di satu sisi ia taat kepada pemerintah pusat, di sisi lain ia menguasai beberapa instansi vital di Medan.
Kolonel Simbolon
Langkah Simbolon membuat dewan gajah ini ditentang oleh para perwira Sumatra Utara, seperti Letkol Djamin Gintings (Kepala Staf TTI) dan Letkol Wahab Makmur. Presiden Ir. Soekarno pun mengingatkan agar Simbolon kembali ke jalan yang benar. Oleh karena tidak menghiraukan seruan itu, Simbolon pun dipecat oleh PM Ali Sastroamidjojo. Pemerintah kemudian mengirimkan Fact Finding Commission (Komisi Penyelidik Keadaan) untuk meneliti sebab musabab munculnya berbagai gerakan di daerah. Namun, komisi ini ditolak kehadirannya.
Kolonel Simbolon, Ketua Dewan Gajah mengumumkan pengambilalihan kekuasaan yang berada di wilayah TT I serta tidak mengakui Kabinet Ali Sastroamijoyo melalui studio RRI.
  3. Dewan Garuda
    Di Sumatra Selatan sekelompok politisi lokal berhasil memengaruhi pimpinan militer setempat membentuk Dewan Garuda. Dalam Piagam Pembangunan yang mereka buat, mereka menuntut pemerintah pusat agar memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah Sumatra Selatan; kerukunan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta untuk mengendalikan pemerintahan Republik Indonesia; serta tersalurkannya aspirasi daerah. Selanjutnya, dengan dalih demi keamanan dan ketenteraman, Letkol Burlian (Panglima TT II) mengumumkan bahwa daerah Sumatra Selatan dalam keadaan bahaya. Gubernur Winarno Danuatmodjo diminta menyerahkan kekuasaannya untuk memperlancar usaha pembangunan di daerah Sumatra Selatan. Di antara Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda saat itu terjalin komunikasi yang erat, bahkan saling membantu. Ini tentu menyebabkan kekhawatiran pemerintah pusat.
Letkol Burlian

4. PRRI/Permesta
    Pada tanggal 9 Januari 1958 di Sumatra Barat diadakan pertemuan yang dihadiri oleh Letkol Achmad Husein, Letkol Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dahlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Dari sipil hadir M. Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Pertemuan itu antara lain membicarakan pembentukan pemerintahan baru. Dalam sebuah rapat akbar di Padang tanggal 10 Februari 1958, Letkol Achmad Husein memberi ultimatum kepada pemerintah pusat sebagai berikut.
a) Dalam waktu 5×24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden atau presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda.
b) Presiden menugaskan Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk zaken kabinet.
b) Meminta kepada presiden supaya kembali pada kedudukannya sebagai presiden konstitusional.
    Sidang kabinet menolak ultimatum itu dan tanggal 11 Februari 1958, memecat secara tidak hormat kepada Achmad Husein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek. Sehari kemudian, KSAD A.H. Nasution membekukan Komandan Daerah Militer Sumatra Tengah dan menempatkannya langsung di bawah KSAD. Puncaknya terjadi pada tanggal 15 Februari 1958 saat Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut kabinetnya. Bertindak sebagai Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara dengan anggota kabinet M. Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojoadikusumo, dan Simbolon. Dukungan terhadap PRRI pun datang dari Sulawesi. Pada tanggal 17 Februari 1958 Letkol D.J. Somba (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah/ KDMSUT) menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat serta mendukung PRRI. Di Makassar sendiri, pada tanggal 2 Maret 1957 Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini mempunyai wilayah Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Maluku. Setelah menyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya, gerakan ini mengambil alih pemerintahan daerah.

    Rangkaian gerakan-gerakan di daerah  dan pembentukan dewan benteng, gajah dan garuda itu mengakibatkan kehidupan politik nasional dan daerah dalam suasana tegang. Ir. Soekarno dengan didukung Djuanda, Nasution, PNI, dan PKI menghendaki perlakuan yang keras untuk memadamkan gerakan itu. Sementara itu, Hatta dan Hamengku Buwono IX cenderung mengedepankan perundingan. Situasi semakin gawat, setelah PM Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada presiden tanggal 14 Maret 1957. Presiden kemudian menyatakan negara dalam keadaan bahaya, dengan demikian angkatan perang leluasa untuk mengambil tindakan. KSAD pun menggelar Operasi 17 Agustus yang merupakan gabungan AD, AL, dan AU dipimpin Kolonel Achmad Yani. Pada tanggal 29 Mei 1961 seluruh pimpinan dan pasukan PRRI menyerah, demikian pula Permesta.

    Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas politik.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, dan PRRI/Permesta "

Posting Komentar