Perang Aceh (Latar Belakang, Tokoh Perang Aceh, Perlawanan Tengku Cik Ditiro, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien, Dll)

Perang aceh dimulai ketika penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 yang membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan intervensi ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh karena Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda. Kontak pertama terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat. Pertempuran itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke kawasan Masjid Raya. Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Daerah-daerah di kawasan Aceh bangkit melakukan perlawanan. Para tokoh perang Aceh adalah Cut Nyak Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Cik Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia.
Pada tanggal 2 November 1871 Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang kemudian menghasilkan Traktat Sumatra. Traktat tersebut berisi bahwa pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah siak.
Latar Belakang Terjadinya Perang Aceh
1. Aceh adalah negara merdeka dan kedaulatannya masih diakui penuh oleh negara-negara Barat. Dalam Traktat London 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya. Dalam hal tersebut Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Namun Belanda selalu mencari alasan untuk menyerang Aceh dan menguasainya.
2. Berdasarkan Traktat Sumatera, 2 November 1871, pihak Belanda oleh Inggris diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedangkan Inggris mendapat kebebasan berdagang di Siak. Hal ini mengganggu ketenangan Aceh, untuk itu Aceh mempersiapkan diri mengadakan perlawanan.
3. Semakin pentingnya posisi Aceh dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Lalu lintas pelayaran di Selat Malaka semakin ramai semenjak Suez dibuka dan Aceh merupakan pintu gerbang ke Selat tersebut.
4. Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas kesultanan Aceh. Maka tanggal 26 Maret 1873 pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh.
Peta perang aceh
Daerah pertempuran dalam Perang Aceh, 1873 – 1904 dan Perang Batak (Tapanuli), 1878 – 1807

Jalannya Perlawanan Rakyat Aceh
    Setelah mendarat pada tanggal 5 April 1873 dengan kekuatan kurang lebih 3000 orang bala tentara,
serangan terhadap mesjid dilakukan dan berhasil direbut, tetapi kemudian diduduki kembali oleh pasukan Aceh. Karena ternyata bertahan sangat kuat, serangan ditunda kembali sambil menunggu bala bantuan dari Batavia. Akhirnya penyerbuan tak diteruskan, malahan ekspedisi ditarik kembali.
Pada bulan November 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi kedua ke Aceh yang berkekuatan 8.000 pasukan dan dipimpin oleh Jenderal Van Swieten. Pada tanggal 9 Desember 1873 ekspedisi telah mendarat di Aceh, kemudian langsung terlibat pertempuran sengit. Belanda menggunakan meriam besar, sehingga laskar Aceh pimpinan Panglima Polim terus terdesak. Akibatnya, mesjid raya kembali diduduki Belanda. Belanda terus bergerak dan menyerang istana Sultan Mahmud Syah. Pasukan Aceh terdesak dan Sultan Mahmud Syah menyingkir ke Luengbata. Daerah ini dijadikan pertahanan baru. Namun, tiba-tiba Sultan diserang penyakit kolera dan wafat pada tanggal 28 Januari 1874. Ia digantikan putranya yang masih kecil, Muhammad Daudsyah yang didampingi oleh Dewan Mangkubumi pimpinan Tuanku Hasyim. Perlawanan masih terus dilanjutkan di mana-mana sehingga Belanda tetap tidak mampu menguasai daerah di luar istana. Belanda hanya menguasai sekitar kota Sukaraja saja. Sementara itu, di seluruh Aceh dikobarkan suatu perlawanan bernapaskan Perang Sabilillah. Ulama-ulama terkenal, antara lain Tengku Cik Di Tiro dengan penuh semangat memimpin barisan menghadapi serbuan tentara Belanda.
Perlawanan Tengku Cik Ditiro
    Tengku Cik Ditiro dilahirkan pada 1836 dengan nama kecilnya Muhammad Saman. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama, kemudian ia menunaikan haji. Pada Mei 1881, Pasukan Cik Ditiro dapat merebut benteng Belanda di Indragiri, kemudian menyerang ke Pulau Breuh dengan harapan pada 1883 Belanda dapat diusir dari Bumi Aceh. Belanda mengalami kesulitan untuk menundukkan Cik Ditiro. Belanda membujuk damai, namun Cik Ditiro menolaknya. Karena Belanda kesulitan membujuk Cik Ditiro, akhirnya Belanda menggunakan cara halus, yaitu dikhianati oleh teman seperjuangannya, seorang wanita, dengan berpura-pura mengantar makanan yang sudah ditaburi racun. Kemudian, beliau sakit dan wafat pada Januari 1891 di Benteng Apeuk Galang Aceh.
Teuku Cik Ditiro
Teuku Cik Di Tiro pemimpin pasukan Perang Aceh di daerah Pidie, meninggal pada tahun 1891
 Perlawanan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien
    Rakyat di daerah Aceh Barat juga bangkit melawan Belanda dipimpin oleh Teuku Umar bersama istrinya Cut Nyak Dien. Ia memimpin serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda sehingga menguasai daerah sekitar Meulaboh pada tahun 1882. Daerah-daerah lainnya di luar Kutaraja juga masih dikuasai pejuang-pejuang Aceh. Mayor Jenderal Van Swieten diganti Jenderal Pel yang kemudian tewas dalam pertempuran di Tonga. Tewasnya 2 perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Kohler dan Jenderal Pel merupakan pukulan berat bagi Belanda. Belanda mencoba menerapkan
siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh. Oleh karena sulitnya usaha untuk mematahkan perlawanan laskar Aceh maka pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dengan cara mengirim Dr. Snouck Hurgronye, seorang misionaris yang ahli mengenai Islam untuk mempelajari adat-istiadat rakyat Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien
Teuku Umar, pemimpin Perang Aceh di bagian barat bersama istrinya Cut Nyak Dien, gugur pada tahun 1899
    Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat baru.
Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk
mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers (orang aceh). Nuku De Atjehers (Orang Aceh) yang dijadikan dasar siasat Belanda untuk menunduk kan orang- orang Aceh. Siasat tersebut, yaitu melakukan politik adu domba dan penyerangan kepada para pemimpin Aceh. Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.  Dengan memakai nama samaran Abdul Gafar, ia meneliti kehidupan sosial budaya rakyat Aceh dari bergaul dengan masyarakat setempat.
Dr. Snouck Hurgronje
 Hasil penelitian Dr. Snouck Hurgronje sebagai berikut:
1. Sultan Aceh tidak mempunyai kekuasaan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang menjadi bawahannya.
2. Kaum ulama sangat berpengaruh pada rakyat Aceh.
Kesimpulan hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje adalah:
1. Belanda harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang pemersatu, Kekuatan justru terletak pada Hulubalang dan Ulebalang.
2. Untuk menaklukkan rakyat Aceh, harus dilakukan serangan serentak di seluruh Aceh.
3. Setelah nanti mampu menduduki Aceh, mestinya pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan
kesejahteraan rakyat Aceh.

Akhir Perang Aceh
    Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz. Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Perlawanan rakyat Aceh yang merupakan perlawanan paling lama dan terbesar di Sumatera akhirnya mendapat tekanan keras dari Belanda. Pada tanggal 26 November 1902, Belanda berhasil menemukan persembunyian rombongan Sultan dan menawan Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903. Disusul menyerahnya Panglima Polim dan raja Keumala.
Panglima Polim
 Sedangkan Teuku Umar gugur karena terkena peluru musuh tahun 1899. Pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal dan digantikan putranya, yaitu Teuku Mak Amin Di Tiro. Dengan hilangnya pemimpin yang tangguh itu perlawanan rakyat Aceh mulai kendor, Belanda dapat memperkuat kekuasaannya. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Dokumen Korte Verklaring) yang dikeluarkan oleh Van Heutsz. Perjanjian ini menanda kan bahwa Aceh tunduk kepada Belanda.
Isi pernyataan dalam Plakat Pendek (Dokumen Korte Verklaring) adalah:
1. mengaku dan tunduk kepada Belanda,
2. patuh kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Belanda,
3. tidak akan berhubungan dengan negara lain selain dengan Belanda. Perang Aceh secara resmi dianggap berakhir pada 1912, tetapi serangan-serangan terhadap Belanda masih berlangsung, seperti pada 1927 terjadi per tempuran hebat di Bakongan.
    Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan sampai menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
Baca juga perang Padri, Diponegoro, dan Pattimura, semoga bermanfaat :)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perang Aceh (Latar Belakang, Tokoh Perang Aceh, Perlawanan Tengku Cik Ditiro, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien, Dll)"

Posting Komentar